Tingkatan RUH

TENTANG TINGKATAN RUH
Oleh : Hadrian Nataprawira

Beberapa tingkatan ruh atau tingkatan cahaya manusia untuk memahami isi Al Quran antara lain adalah sebagai berikut :
Pertama, RUH INDERAWI
Yaitu ruh yang dapat menyadap segala sesuatu yang ditransfer oleh panca indera. Ruh ini adalah ruh dasar makhluk hidup.

Kedua, RUH KHAYALI
Yaitu ruh yang merekam informasi yang disampaikan oleh panca indera, kemudian menyimpannya, selanjutnya dikirim ke ruh akal disaat ia memerlukannya.

Ketiga, RUH AQLI
Yaitu ruh yang dapat menyadap makna makna diluar indera dan khayal. Ruh ini merupakan substansi manusiawi yang tidak dimiliki oleh hewan, bayi atau anak kecil. ruh akal ini mempunyai daya sadap pengetahuan pengetahuan yang bersifat dharuri (aksiomatis) dan universal.

Keempat Ruh FIKRI
yaitu ruh pemikiran yang mengambil ilmu ilmu akal murni. Dari ruh ini timbul pemikiran pemikiran dualisme (tesis dan antitesis)yang selanjutnya menumbuhkan pemikiran yang sangat berharga. Kemudian dari tesis and antitesis ini timbulah sintesis. Akan tetapi dari sintesis ini timbul lagi tesis dan antitesis. begitulah hingga membentuk dialetika yang tiada kata akhir, yang menyebabkan pengetahuan itu kian hari kian bertambah.

Kelima, RUH AL-QUDSI AN-NABAWI
yaitu ruh yang khusus dimiliki oleh para nabi dan sebagian para wali. Didalam ruh ini tersingkaplah lauh-lauh (catatan catatan) gaib. Disamping itu terbuka pula hukum hukum akhirat, pengetahuan pengetahuan tentang kerajaan langit dan bumi, bahkan terbuka pula pengetahuan pengetahuan rabbani (tentang ketuhanan) yang semua itu tidak dapat dijangkau oleh kemampuan akal dan pemikiran.

"Demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh ini dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidak mengerti tentang apakah Al Kitab itu, juga apakah iman itu. Akan tetapi Kami jadikan Al Quran itu cahaya yang Kami tunjuki siaoa yang Kami kehendaki diantara hamba hamba Kami. dan sesungguhnya kamu benar benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (Q.S 42:52)

Kita tidak boleh berhenti di alam akal, sebab dibalik alam akal masih terdapat tingkatan alam lain yang tidak dapat dijamah oleh akal. Hal ini seperti alam yang terdapat dibalik (diatas) akal tamyiz dan akal inderawi, yang berisi muatan muatan tersingkapnya keajaiban keajaiban dan keanehan keanehan yang tidak terjamah ileh akal tamyiz dan inderawi.

Maka janganlah sekali sekali beranggapan bahwa kesempurnaan itu hanyalah milik anda !!
Lihatlah mereka yang mempunyai "dzauq syi’ri" (perasaan yang halus) yang hanya dimiliki oleh orang tertentu saja. Padahal perasaan itu merupakan jenis daya sadap yang tidak dimiliki oleh setiap orang Akibatnya orang yang tidak memiliki perasaan halus ini tidak dapat memberdakan antara nada irama yang indah, teratur, rapi dengan nada yang kacau dan sumbang.
Cobalah analogikan perumpamaan ini dengan dzauq kenabian yang sangat spesifik. Dari sana berupayalah untuk menjadi orang yang dapat memahami dan memiliki ilmu pengetahuan tentang perumpamaan itu, paling tidak anda harus termasuk golongan yang mempercayai ilmu sepertinya.
"Allah akan mengangkat orang orang beriman diantara kamu dan orang orang yang mempunyai ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S 58:11)

Ilmu berada diatas iman, dan dzauq berada diatas ilmu, dan ketahuilah bahwa dzauq itu adalah "wujdan" (perasaan yang sangat halus yang timbul di hati nurani) dan ilmu itu adalah analogi. Sedangkan iman adalah semata mata penerimaan dengan cara taklid dan berbaik sangka terhadap ahli wujdan dan ahli makrifat.
Setelah memahami kelima macam ruh daiatas, ketahuilah bahwa semua itu merupakan cahaya-cahaya, sebab dengan cahaya itu segala maujudat menjadi kelihatan. Sedangkan dua diantara berbagai ruh itu, yakni ruh inderawi dan ruh khayali dimiliki juga oleh hewan. Tetapi kedua macam ruh itu, dan yang berhubungan dengan manusia adalah lebih mulia dan lebih tinggi tingkatannya. Kedua ruh itu diciptakan pada diri manusia untuk tujuan yang lebih jelas dan lebih terang. Sedangkan tujuan dari diciptakannya ruh inderawi dan ruh khayali pada binatang semata mata untuk mencari makanan.

Adapun tujuan diciptakannya kedua ruh itu dalam diri manusia adalah sebagai sistem atau metode untuk menangkap dasar dasar ilmu pengetahuan agama yang mulia, yang terdapat di alam bawah (alam dunia). Sebab, jika manusia mengenal sesuatu dengan indera nya, maka lebih jauh melalui akalnya dia dapat menangkap makna yang umum dan mutlak.


Five Principles for Prosperity










Levy's Five Principles for Prosperity

Principle Number One: Enjoy Everything.

We should understand the world does not owe us a living. We will succeed or fail by the amount of Joy we have for the project we will call our work. The number one ingredient is enthusiasm and commitment for the job in hand.

We have to understand that very few things will go in the direction we desire and the more we practice our skills, the luckier we will become. We manufacture our own luck, and recognizing opportunities is the key to success.

Every viewpoint, in every business day, has to be explored. Never say no to anything until we have examined every possibility and outcome. Even if we find that it is not what we desire, we leave the door open for future development. If we are only interested in what we can get out of any action of the moment, we are doomed for failure.

Principle Number Two: Give First.

A key ingredient in a successful venture is giving rather than taking. In other words give the best and you will receive the best. If you do not have the ability to give the best, keep on trying different approaches until you can give the best. Whatever you give you will get back in abundance.

There are those who have achieved money and status by devious means. They may have all the trappings of the luxury lifestyle, but they do not possess the clear mind to enjoy the fruits of their labor. Therefore, they are not a success to themselves.

All the stresses and strains of cheating will one day manifest into an illness. You can mislead other people but you cannot lie to your immune system. So, it pays big dividends to give others a helping hand up the ladder of success.

Principle Number Three: Overcome Adversity.

Enjoy the failures more than the successes. Understand there is no such thing as failure. Each lesson learnt, is a lesson gained. Just don't keep making the same mistakes. Everything is a gain, gain situation. Negative people are our stepping stones to wealth. The more they tell us it can't be done, the more energy they give us to get the job done successfully. Adversities are sent to test our resolve. Become a good hurdler and learn how to jump over them.

If we require an answer to a difficult problem we need to solve, we ask any questions we need to solve, a few minutes before we go to sleep-and then forget about it. We then go into a sound, deep sleep.

The next morning, on awakening, we may get an idea from "out-of-the-blue" that solves the issue. If not that morning, then it may take more time to solve. Ask the question every night until the matter resolves itself…and it surely will!

Principle Number Four: Stay Debt-Free.

It is far better to walk before we can run. We must not pile up too much debt. If we cannot afford something, then we work a little harder and longer until we have the funds to expand. I know this is not the modern way of thinking and there are always exceptions to the rule, but being debt-free sure makes for 'Peaceful Sleep.' Being 'Under Pressure' to pay bills is no way to live. Our purpose is to enjoy life and our labor must be a labor of love without demands.

Principle Number Five: Enjoy Endurance.

Remember the three P's: Patience, Persistence, Perseverance. If we trust in our ‘True Self,' we cannot fail. As long as we are enjoying our business activities in the same way as we enjoy our leisure, success is assured.

If it takes a few years more than we thought to achieve our goal, then so much the better, because we have more time to gain extra experience… It will allow for more time to exhibit to people that we are trustworthy and reliable.

Integrity cannot be bought, therefore once we gain authentic credibility, everything else we do eases into its appropriate space. It will eventually mean other business people will regard us as experts in our field. We have mastered time and space.

With the five principles for prosperity deposited into our memory banks, we are ready to build new bridges. Network with all the new and innovative companies in our field.

We are constantly entering new areas of High-Technology. Business today needs new innovation and leadership to succeed. This is year 2005 and new dimensions of thought are needed for success. Therefore, it is now more important than ever to project the five principles of prosperity.

We will also need to understand how to overcome and eliminate worry and anxiety. It is essential to find inner peace and harmony to relieve the burdens of stress.

By allowing our minds the freedom of silence that transcends to higher dimensions, we will find infinite possibilities. Our potential for success is only limited by what we think we know.

That type of limitation can cause great pressure, therefore we require an objective detachment from outside events we cannot control. We can only execute what we are able to perform-and what seems impossible at one moment, we can do at another appropriate-moment-in-time.

When we open our imagination (image-maker), we open the doorway to success. Every human mind has a wormhole in the deepest section of the brain that can take the mind's thoughts into what Einstein called the ‘Creative Mind of God.' Einstein declared that he wanted to know what God is thinking, everything else is mere details…and so it is.

It is never too late in life to explore your mind's links to creativity

Even when we retire from our occupation, we must never retire from life. The secret to retirement is to keep an active mind. I have a friend aged eighty-seven who still enjoys working as a realtor, selling apartments. He tells me it makes him feel like a young pup. There are many hobbies we can enjoy and maybe they will make money? Regular exercise will keep us healthy and it also keeps the sex drive in gear. Aging signifies that life is still a joyride to an active mind.

Just one other point…It is important to note that we will never actual own anything. We only possess what we can take on our eternal journey. We are just renting space and time, so our success is not measured by our bank balance. We live in a materialistic world and to become truly prosperous we need to ascertain that, when we reverse our conditioned mind's way of thinking, we find …( in whatever form our image-creation observes) creativity. A Universal spirit guiding us on an authentic life course. What a power-force to guide us and establish an easy way to follow to prosperity!

Are you now ready to accept success?


al-islam.

Rahasia dari Kekayaan Tidak Terbatas

RAHASIA DARI KEKAYAAN
YANG TIDAK TERBATAS


A. Sumber Dari Kekayaan Tanpa Batas

Seorang ibu rumah tangga berkata : ”Saya telah kalkulasikan semua, saya telah hitung dengan cermat. Kita ternyata memerlukan uang tambahan untuk menutupi kebutuhan rumah tangga kita yang telah meningkat. Hidup kita “hanyalah” dari gaji suami yang tetap setiap bulannya dan gaji suami adalah satu satu nya harapan kita. Jadi kenapa bos tidak pernah menaikan gaji suami ya ? “
Atau seorang Bapak telah bekerja keras bertahun tahun, banting tulang, dan apa yang ia dapatkan hanya cukup untuk menghidupi keluarganya. “Bagaimana lagi, hanya inilah yang dapat saya lakukan. Keahlian ku hanya ini. Dan kalau harus pindah kerja perlu waktu lama lagi dan kemungkinan akan mulai dai bawah lagi. Inilah nasib ku”.
Ilustrasi diatas menunjukan bahwa mereka pada intinya belum mengetahui dan mengenal rahasia dari kekayaan yang tidak terbatas (infinite prosperity). Kebanyakan manusia memutuskan aliran dari “rezeki” atau substansi dikarenakan mereka berfikiran bahwa substansi bentuknya adalah tetap (fixed in form). Jangan lah pernah mengatakan bahwa anda hanya hidup dari “gaji yang tetap”. Karena anggapan dan pikiran tersebut dengan sendirinya telah menutup alam pikiran anda (mind) dan saluran saluran dari mana rezeki anda akan mengalir ke anda.

We must not try to fix the avenues through which our good is to come…. Trying to fix the “channel” through which his good must come to him is one of the ways in which the personal man shuts off his own supply (Charles Fillmore, “Prosperity”)

Dasar dari rahasia dari kekayaan yang tidak terbatas (unlimited prosperity) adalah : Tuhan adalah sumber dari segala sumber dari kebutuhan manusia, dan Tuhan telah menyediakan saluran yang tidak terbatas pula agar Kekayaan Alam Semesta Yang Tidak Terbatas tersalurkan ke manusia !.

Nabi Musa pernah berkata : “ Anda semua harus mengingat Allah, Tuhan mu, karena Dia lah yang memberikan anda kekuatan untuk mendapatkan kekayaan dan kemakmuran” (Deuteronomy 8:18)

“….dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi keperluannya…. “ (Q.S 65.3)

Setelah anda mengetahui bahwa rezeki dan kekayaan itu hanya…sekali lagi hanya datang dari Allah Tuhan Semesta Alam , maka sekarang juga …ya …sekarang juga…bukalah alam pikiran anda (mind) kepada Tuhan Yang Maha Kaya dan Maha Pemberi sebagai hak anda sebagai manusia, hak anda sebagai citra Nya dengan mengatakan atau mensugestikan dalam alam pikiran anda :

Tiada Tuhan selain Allah, dan aku tidak bergantung kepada manusia untuk rezeki ku, tidak bergantung pada uang atau keadaan untuk rezeki ku. Tuhan lah sumber rezeki ku dan Dia setiap saat memberikan ku jalan dan saluran bagi kemakmuran dan kekayaan ku. Dan aku terbuka dan siap menerima kekayaan dan kemakmuran itu sekarang juga !

Kemudian anda perhatikan kejadian sehari hari, ide ide baru atau keadaan baru yang timbul. Jalankan lah dan alami lah dengan ikhlas.
There is no numbering of the avenues through which supply may come to you…. Your resource is as far-reaching as the universe… You are to expect your supply through all avenues of contact with life. Not from one specific point, not from two or more specified points, but from all points of the universe your good is crowding toward you. (Imelda Shanklin, “What Are You”.)

Jalan dan sumber rezeki Allah adalah tidak terbatas , dan tidak datang dari hanya satu sumber atau jalan tetapi datang secara tidak terbatas seperti luasnya alam semesta ini. Kita harus mengharapkan rezeki dan kekayaanNya dari semua saluran dan jalan kehidupan dan dari semua titik dialam semesta ini….rezeki yang tidak terbatas sekarang dan saat ini sedang datang berhamburan..dan saya siap menerimanya sekarang juga !

Kita diminta oleh Tuhan bukan untuk mencari rezeki tetapi untuk “menjemput” rezeki itu. Bedakan antara mencari dan menjemput. Kalau anda mencari belum tentu ketemu, kalau anda menjemput sudah pasti rezeki anda ada. Maka jemputlah rezeki mu ( AA Gym)

“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya” (Q.S 65:3)

“ barang siapa ingin dimudahkan rejekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturahmi..” (Hadits)

Karena dengan bersilaturahmi, kita bertemu dengan banyak manusia, baik itu teman, saudara, rekanan, paman,…dan siapa tau “rejeki” kita datang lewat jalur itu. Sangat masuk diakal ! Sungguh suatu kata kata yang bijak. Kalau kita diam saja dirumah, atau dimesjid atau digereja sibuk berdoa dirumah tanpa ada “ikhtiar” nya, rejeki kita juga jadi bingung bagaimana untuk sampai ke anda. Karena “rejeki” itu tidak jatuh dari langit, atau tiba tiba muncul dimuka anda seperti sulap. Anda harus “menjemputnya” seperti kata AA Gym, dengan penuh rasa ke ikhlasan dan kesungguhan.
Ibu rumah tangga atau Bapak yang tadi diceritakan sebagai ilustrasi awal, berkeluh kesah ke seorang teman, dan teman tersebut menyarankan kepada mereka untuk membuka hati mereka, membuka alam pikiran mereka, membuka kesadaran mereka terhadap kemungkinan kekayaan yang tidak terbatas dengan mengafirmasi kan atau mengatakan dalam dirinya :

“ Ya Tuhanku, tidak ada batasan jalan dan saluran bagaimana rejeki akan datang ke saya.. Sumber rejeki saya adalah seluas alam semesta ini. Saya mengharapkan rejeki saya dari setiap situasi dan perjalanan hidup saya sehari hari dari semua titik pertemuan tersebut, sumber rejeki yang tidak terbatas saat ini juga akan menjadi kenyataan “

Setelah si Ibu rumah tangga tersebut meng afirmasikan kata kata tersebut diatas setiap hari, kejadian yang menarik mulai terjadi. Seorang teman lamanya menelepon dan ingin bertemu dengan nya. Seorang teman lama yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Teman tersebut kemudian datang dan memberikan ibu tersebut uang sejumlah Rp. 4 juta. “Maaf sekali, saya baru bisa memberi kamu segini dulu atas hutang saya yang dulu…ingat kan ? …ya hampir 15 tahun yang lalu….” Si ibu tersebut kemudian tersungkur menangis dan berterima kasih kepada Tuhan atas rejeki yang tidak disangka sangka “jalan” nya tersebut. “ Sungguh Engkau Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pemberi Rejeki.”
Kemudian si ibu rumah tangga tersebut semakin bersemangat dan semakin yakin akan kebenaran Tuhan bahwa Tuhan adalah sumber dari segala sumber rezeki nya. Ia kemudian meneruskan “sugesti” atau afirmasi kata kata tersebut diatas dan tidak berapa lama kemudian sang suami mendapatkan kenaikan gaji dan jabatan maupun tambahan penghasilan lainya sehingga kebutuhan rumah tangga mereka tercukupi.
Janganlah anda memutuskan saluran dari rezeki dan substansi dalam hidup anda dengan mengira bahwa ianya akan datang dari saluran atau jalan yang telah anda tentukan sebelumnya. Tidak ada batasan dalam sumber dan jalan maupun saluran dari rezeki anda.

“ Dan Dia telah memberikan kepada mu kebutuhan mu dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya…..” (Q.S 14.34)

Seorang pialang saham telah membaca sebuah buku dari Charles Fillmore dalam bukunya yang berjudul “Prosperity” dan ia telah mempelajari dan akhirnya mengetahui rahasia dari kekayaan yang tidak terbatas tersebut :

“ Tuhan adalah sumber dari kebutuhan ku, substansi adalah yang Tuhan berikan pada manusia secara tidak terbatas, dan alam pikiran adalah dasar dari substansi, dan dengan secara sengaja mengarahkan alam pikiran kita terhadap kekayaan dan kemakmuran, alam pikiran tersebut akan menggerakkan substansi yang tidak terbatas tersebut dan menghasikan kekayaan dan kemakmuran di alam nyata bagi nya.”

Kemudian dia berterima kasih dan bersyukur kepada Nya ;

“Ya Tuhanku, aku berterima kasih dan bersyukur terhadap peningkatan yang tidak terbatas atas kekayaan, keuangan dan kehidupan ku”.

Penghasilannya secara perlahan kemudian telah meningkat dari US$ 7,200 menjadi US$ 40.000,- per bulan. Ajaib ? Bukan, karena dia telah mengetahui sumber dari rezekinya.

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambahkan nikmat kepada mu … “ (Q.S 14.7)

Tuhan sebagai substansi yang tidak Maha Tidak Terbatas adalah sumber anda, penolong anda, penolong dari keuangan anda, penolong dari kehidupan anda. Hubungan yang bijak dengan substansi Tuhan adalah kebutuhan anda yang paling ampuh di alam yang nyata ini. (Imelda Shanklin)

“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah sesuatu pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi. Tiada Tuhan selain Nya……” (Q.S 35.3)


B. Memberi Dan Berbagi Rezeki

Setelah anda menyadari dan mengetahui kebenaran bahwa Tuhan adalah sumber dari segala sumber anda, bahwa Dia memberikannya lewat sumber dan jalan yang tidak terbatas, baik dekat maupun jauh, sekarang maupun dimasa mendatang, dimana kebutuhan anda akan termanifestasikan, bahwa Dia telah menyediakan substansi yang tidak terbatas untuk memenuhi kebutuhan anda, bahwa kebutuhan anda tidaklah tetap (fixed in form) dan dapat datang dari segala penjuru di alam semesta ini, ada satu rahasia lagi yang perlu anda sadari dan ketahui yaitu :

You must share your supply if you would insure continuation of your supply. In practical ways, you will find that sharing and expectancy are the beginning of financial affairs. (Catherine Ponder)

Anda harus berbagi dan memberi jika anda ingin memastikan bahwa kebutuhan anda akan terus dicukupi. Bagi kebanyakan orang yang merasa mereka hidup pas pas an, memberi dan berbagi adalah suatu hal yang sulit bahkan mustahil untuk dilakukan. Pada hal sebenarnya dengan mereka tidak berbagi atau memberi, mereka telah memutus alur rezeki mereka sendiri dari sumber rezeki Yang Tidak Terbatas, karena mereka telah melanggar hukum….iya melanggar hukumNya tentang kekayaan yang tidak terbatas (The Law of Prosperity). Mereka belum mengetahui rahasia dari kekayaan yang tidak terbatas sebagaimana Nabi Sulaiman berkata :

“ One man gives freely, yet grows all the richer; another withholds what he should give, and only suffers want. A liberal man will be enriched, and one who waters will himself be watered ”

“ ….jadi kita bekerja keras, menjemput rezeki kita, …lalu kita distribusikan. Makin banyak kekayaan yang didistribusikan, makin banyak orang lapar tersantuni, makin banyak orang bodoh bisa belajar, makin banyak orang yang tidak berpakaian bisa memiliki baju, makin banyak orang yang tidak mempunyai rumah bisa berteduh, dan ini akan membuat kita semakin bersemangat dalam bekerja. Dan luar biasa, kita bisa menikmati bagaimana kita mendistribusikan rejeki kita ini (perasaan nikmat)…” (AA Gym, Berbisnis dengan Hati)

Seorang manusia memberi, dan bertambah kaya lah ia, seorang manusia lain menahan apa yang seharusnya dia berikan dan menderita terhadap keinginan keinginanya yang tidak terpenuhi. Seorang manusia yang merdeka (bebas) akan semakin kaya, dan seseorang yang ‘memberi” dengan sendirinya akan diberi.
Nabi Sulaiman sebagai Nabi yang paling “kaya” dari segi materi, telah memberikan rahasia nya bagaimana kita semua dapat menjadi kaya. Dan itu semua telah disebutkan dalam semua kitab kitab Nya, Quran, Injil, Taurat dan Zabur. … yaitu memberi dengan banyak dan ikhlas….
Salah satu cara yang paling mudah, cara yang paling pasti dan terukur (scientific), cara bisnis (businesslike) dan cara spiritual dari kegiatan berbagi dan memberi adalah melalui bersedekah (tithe) dan berzakat dari sebagian pendapatan kita. Memberi dan berbagi secara sistematis akan membuka jalan terhadap penerimaan rezeki dan kebutuhan kita secara sistimatis pula.
Dalam agama Islam, kita dianjurkan untuk bersedekah atau berzakat minimum 2.5 % dari pendapatan kita, sedangkan dalam agama Kristen, umatnya diwajibkan untuk mendermakan 1/10 dari pendapatannya ke gereja. Begitu juga dengan agama agama lainnya.
Bila mana anda mulai berpendapat dan berfikiran bahwa anda tidak bisa atau tidak mampu memberi adalah dimana justru anda tidak bisa untuk tidak memberi. Jika menurut kemampuan anda bahwa anda tidak mampu untuk mendapatkan kekayaan dan kemakmuran yang anda inginkan, berarti anda perlu mengetahui rahasia ini.
Kita manusia semuanya adalah makhluk yang paling dimuliakanNya…dan diciptakan menurut citra Nya dan Dia adalah Maha Kaya lagi Maha Mencukupi. Dengan “memberikan” dan “berbagi” terlebih dulu maka kita telah memasuki dan mengetuk pintu Nya terhadap kekayaanNya yang maha tidak terbatas dan telah menghidupkan dan mengaktivasi Hukum Kemakmuran dan Kekayaan (The Law of Prosperity).

“ orang kaya adalah orang yang banyak mendistribusikan rejekinya” (AA Gym)

Seorang ibu sedang terdesak dan memerlukan beberapa ratus ribu untuk membayar hutangnya. Sedangkan dia saat itu sedang tidak punya uang yang cukup untuk membayarnya padahal dia tau bahwa dia harus memberi dulu jika ingin mendapatkan uang. Dari sisa uangnya yang hanya Rp. 100 ribu, dia mensedekahkan Rp. 50.000 kepada sebuah Yayasan yang mengelola anak yatim piatu didekat rumahnya. Dia berkata kepada seorang pengelolanya : “ Ini saya sumbangkan sedikit uang untuk membantu yayasan ini” katanya. “Walaupun saya tau bahwa saya tidak punya uang cukup tapi saya dengan ikhlas memberikannya”. Ibu tersebut kemudian memberikan uang tersebut dengan rasa ikhlas dan bersyukur bahwa dia dapat menyumbangkan sesuatu. Dan pengelola Yayasan tersebut menerimanya dengan rasa terharu dan berdoa mudah-mudahan Tuhan memberikan balasanNya.
Tidak lama kemudian, dari sumber yang tidak disangka sangka nya dia menerima hadiah berupa uang dari tabungan nya disalah satu bank…uang yang cukup untuk membayar seluruh hutang-hutangnya dan dapat hidup berkecukupan. Demonstrasi dari datangnya rezeki dan kekayaan ini tidak akan terjadi jika dia tidak memberi terlebih dahulu.

“Perumpamaan orang orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir dan pada tiap tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui” (Q.S 2:261)

Ayat dan firman Tuhan tersebut adalah kunci nya dan benar adanya : anda harus berbagi substansi untuk menjamin datangnya substansi anda secara kontinu dan berkesinambungan. Berbagi, bersedekah dan berharap dengan penuh keyakinan adalah permulaan dari bertambahnya pundi pundi finansial dan keuangan anda. Hebatnya lagi ialah kebenaran, bahwa bilamana anda memberi dan berbagi, anda secara otomatis akan segera berharap ganjarannya berupa rezeki yang lebih banyak dan besar karena anda telah mengaktifkan hukum kekayaan tanpa batas. Keyakinan dan harapan anda selanjutnya lah yang membuka pintunya.
Sepasang pasangan muda telah lama berjuang dan mencoba agar dapat menghasilkan pendapatan yang lebih banyak untuk membiayai hidup mereka dan membayar kewajiban kewajiban mereka. Setelah bekerja demikian keras dan membuat anggaran yang demikian ketat (justru menambahkan dalam alam pikiran mereka tentang keadaan yang serba kekurangan (lack) dan kesusahan), keadaan keuangan mereka justru semakin parah.
Pada suatu hari mereka mendengarkan kuliah subuh tentang bersedekah dan ayat Tuhan diatas telah menyentuh hati mereka yang paling dalam. Bahwa dengan memberi kita tidak akan miskin malah sebaliknya menjadi lebih kaya. Mereka berdua kemudian merenung dan menghayati ayat tersebut dan berusaha untuk mencari logika nya. Dalam keadaan yang terdesak dan terjepit akhirnya mereka bersedekah dan memberikan 10% dari uang yang mereka miliki saat itu. Kami ikhlaskan pemberian ini pikir mereka berdua. Dan pada saat mereka memberikan uang tersebut kepada kerabat mereka yang membutuhkan, mereka justru merasakan perasaan yang damai, bahagia dan nyaman. Suatu perasaan yang indah yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Mereka demikian pasrah dan terharu melihat kegembiraan kerabat mereka yang telah mereka tolong itu. Tidak lama kemudian seorang teman dekat mereka datang kerumah mereka dan minta tolong mereka untuk menjual tanah miliknya seluas 20 Hektar di Depok. Dan kebetulan pula istri pasangan muda tersebut teringat bahwa dia mempunyai kerabat yang kebetulan bergerak dibidang property dan perumahan. Kemudian tanpa basa basi, sang istri kemudian menelepon kerabatnya tersebut dan menerangkan perihal tanah yang akan dijual tersebut. Dia tidak percaya apa yang dia telah dengar bahwa, sang kerabat memang sudah lama dan sedang mencari lahan seluas 20 ha di daerah tersebut. Akhirnya dengan sedikit ilmu dagang pasangan muda tersebut berhasil merealisasikan jual beli tanah tersebut dan mendapatkan komisi serta keuntungan dari sedikit mark up harga…..dan akhirnya mendapatkan uang yang cukup untuk membayar seluruh hutang hutang mereka dan untuk hidup serba berkecukupan. Ternyata memberi, berbagi dan berharap telah terbukti dan menjadi permulaan dari kemakmuran financial. Menyadari hal ini, pasangan muda ini semakin rajin memberi dan berbagi dan hasilnya keadaan financial mereka semakin bertambah dan mereka telah terbebas dari rasa takut akan kekurangan. Memberi, bersedekah dan berbagi akan membentuk suatu keteraturan (order) dalam hati, alam pikiran, tubuh anda dan kehidupan anda. Bila keteraturan dan keikhlasan telah terbentuk, adalah mustahil bagi seseorang untuk menjadi miskin dan serba kekurangan.

When a person tithes (sedekah / zakat) he is giving continuously, so that no spirit of grasping, no fear, and no thought of limitation gets a hold upon him. There is nothing that keeps a person’s mind so fearless and so free to receibve the good constantly coming to him as the practice of tithing….Tithing is based upon a law that cannot fail and it is the surest way ever found to demonstrate plenty, for it is God’s own law and way of giving. (Charles Fillmore, “Prosperity”)

Bila seorang bersedekah, dia telah memberi secara kontinu, sehingga ianya tidak ada rasa khawatir, tidak ada rasa takut, dan tiada fikiran terhadap kekurangan dalam dirinya. Tidak ada yang menghalanginya untuk merasakan perasaan yang tanpa ketakutan dan rasa bebas untuk menerima rezeki yang datang pada nya dengan perbuatan bersedekah. Bersedekah dan berbagi didasarkan dari Hukum yang tidak akan gagal dan merupakan cara yang paling pasti untuk merealisasikan kekayaan, karena merupakan Hukum Tuhan dan caraNya untuk memberi kepada manusia.

“ … karena tangan yang diatas atau yang memberi lebih utama dari tangan yang dibawah atau yang menerima..” (Hadits, riwayat Abu Hurairah)

Anda sekarang dapat mulai mensugestikan dan mengafirmasikan dalam hati dan alam pikiran anda pada saat anda akan memohon kepadaNya :

“Aku akan selalu mengingat Mu ya Tuhan, dan karena Engkau telah memberikan aku kekuatan untuk mengalami kemakmuran. Aku telah memberi secara berlebih dan akan menerima secara berlebih pula. Aku memberi dan bersedekah menuju kemakmuran dan kekayaan tanpa batas…saat ini juga”
BERSYUKUR
Langkah pertama untuk menjadi KAYA adalah dengan menyampaikan ide keinginan Anda kepada Substansi Tanpa Bentuk (Yang Maha Pencipta lagi Maha Ghaib) , dan ini benar dan aanda akan melihat bahwa supaya menjadi KAYA, penting sekali bagi anda untuk menjalin hubungan secara harmonis dengan Intelejensi Tanpa Bentuk. Menjalin hubungan harmonis ini sangat penting dan fundamental.
Untuk penyatuan sempurna dan menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan melalui Substansi Tanpa Bentuk kata kuncinya adalah BERSYUKUR.
Pertama, anda percaya adanya satu Substansi Intelejensi dimana segala sesuatunya berproses
Kedua, Anda percaya bahwa Substansi ini memberi semua yang anda inginkan
Ketiga, anda menghubungkan diri dengan substansi tersebut melalui rasa syukur dan terima kasih yang mendalam.
Banyak orang hidup lurus dalam segala hal. Namun sayangnya mereka tetap miskin gara gara jarang mengucapkan syukur. Setelah menerima segala kemurahan Tuhan, mereka tidak pernah berterimakasih dan bersyukur. Itu berarti memotong kabel yang menghubungkan mereka dengan Tuhan.
Logikanya, bahwa semakin dekat hidup kita dengan SUMBER KEMAKMURAN, semakin banyak pula kemakmuran kita terima.
Sementara, jiwa yang jauh dengan Tuhan pasti tidak pernah berterima kasih dan tak peduli kepara Tuhan. Jika terpatri dipikiran kita bahwa rasa terima kasih harus selalu diucapkan kepada Tuhan atas setiap kebaikan yang kita teriam, semakin banyak hal baik pula yang akan kita terima, dan akan semakin cepat pula datangnya hal hal baik tersebut.
"….siapa yang pandai bersyukur, maka Allah akan memberikan nya rejeki dari jalan yang tidak terduga"
“….dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi keperluannya…. “ (Q.S 65.3)

BAGAIMANA KEKAYAAN DATANG ?
Anda tidak perlu mendapat sesuatu dengan cara membuat orang lain menerima kurang dari yang seharusnya dia terima. Tetapi anda dapat memberi orang lain lebih banyak deibanding yang anda ambil dari mereka. Anda tidak selalu bisa memberi seseorang uang tunai lebih banyak dibanding jumlah yang anda ambil darinya. Tetapi anda bisa memberi lebih banyak nilai tambah atau nilai guna (use value) kepadanya dibanding uang tunai.
Misalnya saya menukarkan sebuah sebuah senapan berburu seharga Rp. 100.000 untuk misalnya sebuah baju kulit dari seorang pemburu, maka sang pemburu pasti mendapatkan penawaran yang bagus. Senapan itu memiliki nilai guna baginya dan akan membantunya mendapatkan lebih banyak bahan kulit binatang dan juga bhan makanan. senapan itu akan menambahkan sesuatu dalam hidupnya melalui banyak cara. Inilah NILAI GUNA yang bisa membuatnya menjadi kaya.
Ketika anda beralih dari cara cara kompetitif kepada cara cara kreatif atau penciptaan, anda dapat membaca transaksi transaksi bisnis dengan akurat. dan jika anda menjual sesuatu yang tidak menambahkan nilai apap pun kepada seseorang dibanding dengan uang yang dia bayarkan, anda harus menghentikannya. Anda tidak perlu menghantam siapapun dalam bisnis. Jika anda bergelut dalam bisnis yang beroperasi dengan menyerang pihak lain, segeralah kelaura dari bisnis itu.
Berilah setiap orang lebih banyak nilai tambah dibanding nilai tunai yang anda ambila dari mereka. Dengan cara itu anda menambahkan sesuatu dalam kehidupan didunia ini melalui setiap transaksi bisnis yang anda lakukan.
Karena anda ingin menjadi penyebab bagi tercipta nya kekayaan dari Substansi Tanpa Bentuk (formless Substance) tidak berarti kekayaan itu terambil begitu saja dari atmosfir dan kemudai dihantarkan persis ke depan mata anda ….semuanya butuh proses sebagaimana Allah menciptakan Alam Semesta ini juga butuh proses.
Misalnya anda menginginkan sebuah mobil mewah {mosimage}. Anda mengkomunikasikan gambaran mobil itu kepada Substansi Berpikir (thought substance), kemudian anda hanya duduk dudk sambil berharap mobil mewah itu akan muncul didepan mata anda…bukan begitu prinsip bekerjanya Ilmu Menjadi Kaya. GAGASAN HARUS DISERTAI TINDAKAN TERTENTU.
Jika anda menginginkan mobil mewah,:
1. Buatlah gambaran mental tentang mobil itu sepositif mungkin, sampai terasa seolah seolah anda telah mengendarainya, rasakan jok kulitnya, kagumi dashboardnya, pencet tombol audionya dan rasakan alunan musik yang mengudara, nikmati "bau" nya mobil baru, bau nya jok kulit. rasakan kemudi nya. Nyalakan mobil dan dengarkan suara mesin nya yang halus tersebut. Kagumilah panel kayu panel kayu yang terbuat dari oakwood yang terkenal itu. dan seterusnya dan seterusnya.
2. Milikilah keyakinan yang absolut - tanpa meragukannya lagi bahwa kunci mobil mewah itu memang sedang mendatangi anda.
3. Jangan pernah berikir atau mengucapkan sesuatu pun dalam cara diluar keyakian akan kebenaran tadi.
4. Akuilah mobil mewah itu memang sudah menjadi milik anda.
5. Gambarkan secara mental setiap saat jika perlu, sambil mandi, sambil makan, sambil ngobrol, sambil tidur. Inilah yang namanya anda berkomunikasi dengan ALLAH MAHA PENCIPTA setiap saat dan nikmatilah hasilnya hari demi hari dengan tindakan nyata yang akan mendekatkan anda kepada mobil impian anda tersebut.
Mobil mewah itu sedang "diciptakan" untuk anda melalui kekuatan Intelejensi Tanpa Batas, yang berproses melalui pikiran manusia. Jika anda tidak mempunyai mobil atau mempunyai mobil tua dan rusak rusak sekarang, mungkin akan datang seorang agen penjual mobil yang membawa kesempatan untuk memiliki mobil mewah atau akan terjadi transaksi tertentu yang akhirnya membuat anda mendapatkan mobil mewah itu. Jika demikian adanya, maka semua peristiwa itu akan membawa keuntungan bagi anda maupun si agen mobil.
Jangan pernah lupa, Substansi Berpikir itu melampaui semua hal, ada dalam semuanya, berkomunikasi dan dapat mempengaruhi semuanya pula. Hasrat Substansi Berpikir untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik akan menyebabkan terciptanya sebuah mobil mewah. Substansi tadi mampu menyebabkan terwujudnya lagi ribuan mobil mewah. Dan pasti akan demikian terjadinya manakala orang orang melakukan aktivitas aktivitas dengan hasrat, keyakinan dan bertindak di Jalan Yang Tepat.
Jangan ragu untuk meminta lebih banyak lagi. "Merupakan kebahagiaan Allah untuk memberikan kerajaan Nya kepadamu" demikian Nabi Isa bersabda
Substansi Asal ingin menghidupkan segala kemungkinan untuk anda, ingin supaya anda memiliki semua yang bisa anda gunakan untuk mewujudkan kehidupan yang berkelimpahan.
Tuhan Yang Maha Tunggal, sedang mencoba hidup, bekerja dan menikmati keberadaanNya melalui kehidupan manusia. Dia berkata "Aku ingin tangan tangan mendirikan bangunan yang megah, memainkan harmoni surgawi, dan melukiskan gambar keagungan. Aku ingin kaki kaki menjalankan pesuruh, mata mata melihat keindahan, lidah mengucapkan kebenaran dan menyanyikan lagu lagu menakjubkan."
Bagian anda adalah FOKUS dan mengekspresikan keinginan Anda pada Tuhan.
Ini soal sulit bagi kebanyakan orang. Mereka tetap memegang gagasan lama bahwa kemiskinan dan pengorbanan diri itu menyenangkan Tuhan. Mereka melihat kemiskinan sebagai bagian dari rencana Tuhan, sebuah kodrat. Mereka beranggapan Tuhan telah menyelesaikan semua pekerjaanNya dan telah membuat semua hal yang mampu dibuat-Nya. Konsekuensinya, mayoritas orang harus tetap miskin karena Tuhan sudah tidak punya pekerjaan lagi. Mereka berpegang pada gagasan seperti itu sehingga mereka malu untuk meminta kesejahteraan kepada Tuhan. Mereka berusaha untuk tidak menginginkan lebih banyak lagi. Mereka pasrah dengan keadaan asal akan masih bisa merasa tenteram dengan kekurangan tersebut.

Kenali Diri Anda

“ KENALI DIRI ANDA “


Kita tidak bisa mulai benar benar hidup sebelum mengetahui siapa dan apa kita. Jadi siapakah kita? Apakah kita adalah apa yang kita kerjakan sesuai nama pekerjaan kita? Apakah kita adalah dari mana kita berasal, sesuai bangsa kita? Apakah kita, keyakinan kita, sesuai kepercayaan kita? Jika tidak ada satu pun dari hal tersebut menjawab pertanyaan diatas, dan memang tidak, apakah anda? siapakah Anda? Tak ada lagi yang tersisa. Kalau begitu kita harus memanggil Anda apa? Kepekaan? Kesadaran? Jiwa? Roh? Ataukah semua itu lagi lagi cuma merek label ? Dapatkah kita melampaui semua label tersebut dan hanya menjadi jati diri Anda? Jati diri. Perorangan. Sadar.

Bebas. Jati diri yang mawas diri. Itulah Anda.
Bahasa yang lazim di dunia ini adalah bahasa label. Dan seperti halnya label yang menempel di sebuah kotak atau yang tergantung pada sebuah pakaian bukanlah barang yang di deskripsikan label itu, kita telah salah mengenali kedua hal tersebut. Kita berfikir bahwa kita adalah apa yang di deskripsikan label kita. Lalu pada saat label tersebut terancam atau dilepaskan, kita merasa sangat kesal. Kita sukar melihat ilusi itu dan menyadari bahwa kita sebenarnya bukan apa yang dikatakan label kita. Beberapa dari kita bahkan rela mati demi label( agama, komunitas, partai, suku dll) mereka.

Kita bukanlah kebangsaan, ras, gender, atau agama kita. Akan tetapi,

kita diajari untuk berfikir bahwa kita adalah berbagai hal tersebut

dan hal itu sangat tidak tercerahkan. Hal itu juga menjadikan

kehidupan sebuah perjalanan yang sangat menyakitkan. Tidaklah

mengejutkan bila orang-orang di sekitar kita sering kali mengenal

kita lebih baik daripada kita mengenal diri sendiri. Tak seorangpun

mengajari kita nilai mengenal diri sendiri, seperti yang dikatakan

seorang filsuf terkenal “ hidup yang tidak disadari tak berharga

untuk dijalani.” yang sesungguhnya bermakna bahwa jati diri jarang

dikenal seutuhnya.

Mengenal diri sendiri berarti menyadari jati diri sejati ( jiwa ),

sifat sejati ( damai ), dan tujuan sejati ( menciptakan, memberi,

dan menerima). Bila hal itu diwujudkan dan dipahami, Anda akan mulai

mengerti dari mana emosi-emosi seperti kemarahan, depresi, rasa

sakit dan ketidaknyamanan, kehampaan, dan keserakahan berasal. Anda

perlu mengetahui bagaimana dan mengapa perasaan perasaan itu muncul

dalam kepribadian Anda. Jika tidak, kesengsaraan akan sering

mengunjungi Anda, akan terjadi kehampaan makna hidup, dan Anda akan

merasakan hidup Anda tak berharga.

Ketika Anda mampu menanggalkan semua label palsu identitas Anda,

Anda akan mulai memperoleh kembali kesadaran akan jati diri sejati

Anda. Kesadaran itu lebih merupakan pengalaman daripada gagasan,

yang menjadi alasan kenapa meditasi atau tafakur adalah jalan

terbaik untuk mencapainya. Ingat , cara Anda melihat diri sendiri

sepenuhnya mempengaruhi cara Anda melihat dunia, pendapat Anda

tentang dunia, dan karena itu apa yang Anda berikan kepada dunia dan

semesta. Dan apa yang Anda berikan kepada dunia adalah apa yang Anda

peroleh kembali dari dunia.

Bagi banyak orang, mengenali diri sendiri bisa jadi ide yang aneh.

Hal tersebut sedemikian asing pada seluruh sistem pendidikan kita

sehingga bisa jadi sulit untuk melihat kaitannya dengan kehidupan

sehari-hari kita. Akan tetapi, bagaimana jika di usia yang sangat

tua Anda menemukan bahwa Anda betul-betul seseorang yang pandai dan

bijaksana, seseorang yang penuh wawasan dan tercerahkan. ...kenapa

Anda tidak bisa menemukan ciri khas bathin terpendam itu pada usia

dua puluhan tahun? Kemawasan diri, penemuan diri, pemahaman diri,

dan penguasaan diri semuanya merupakan jalan setapak untuk menemukan

kembali kebijaksanaan dan harta karun kekayaan bathin kita ( kuntu

kanzan mahfiyan ). jangan jalani seluruh hidup Anda di luar diri

Anda sendiri, luangkan sedikit waktu di dalam ruang rindu dan Anda

akan mengerti makna sejati “ perburuan harta karun”. Setelah Anda

menemukan harta karun tersebut itulah peta Anda, dan saat nya untuk

memulai perjalanan Anda. Wa Allahu 'Aalim.

AL ISLAM

“ Al-Islam sesuai dengan segala zaman dan tempat “

Tiga agama besar dunia, Yahudi, Nasrani dan Islam, dibawa oleh keturunan dari Nabi Ebraheem. Sedangkan dari segi ajaran, walaupun semua Nabi sama-sama membawa ajaran keesaan Tuhan, namun dalam pemaparannya Nabi Ebraheem mengemukakan bukti-bukti yang berbeda dari Nabi-nabi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan perkembangan tingkat kedewasaan berfikir umat pada setiap Nabi-nabi itu.

Nabi Ebraheem merupakan periode baru dari tuntunan pencarian seorang manusia tentang ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab jauh di dalam diri manusia terdapat kekuatan-kekuatan yang masih tertidur nyenyak ( Annas niyaam faizhaa muutuu intabahuu ), kekuatan yang membuat
mereka takjub yang apabila digugah dan ditindaklanjuti akan merubah paradigma dan kehidupan secara cepat. Hal ini lah yang dialami oleh Ebraheem, dia termasuk manusia dengan tipikal Climber ( orang yang seumur hidupnya membangkitkan dirinya pada puncak perjalanan
keruhaniannya untuk mencapai dan menjalani hidup secara lengkap.

Sebagaimana direkam dalam Al-Qur'an QS. Al-An'am 76-79 dalam proses pencarian akan kebenaran ada orang-orang yang menolak kesempatan untuk tumbuh dan berkembang ( Quitter ) seperti Ayahnya Ebraheem, dan ada juga orang-orang yang cepat puas dengan perjuangan dan pencariannya akan kebenaran dan karena bosan mereka menghentikan dan
mengakhiri pendakian spiritual serta mencari tempat datar aman dan nyaman saja (Camper ). dengan kata lain manusia ada yang tidak percaya akan adanya Tuhan, ada yang percaya adanya Tuhan dan mereka merasa cukup untuk tidak menggali dan mencari serta mendaki lagi, serta ada manusia yang percaya pada Tuhan dan dijadikan kepercayaannya itu sebagai Stepping Stone atau batu loncatan untuk pencarian lebih dalam dari apa yang dipercayainya itu. Hal ini lah yang terjadi pada Nabi Ebraheem, sehingga dikenal disamping sebagai “ Bapak para Nabi “, Ebraheem pun dikenal sebagai ' Bapak Monoteisme serta proklamator keadilan Ilahi “.

Nabi Ebraheem mengajak kepada semua umat manusia pada masanya untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Pencipta langit dan bumi, serta semua umat manusia. Tuhan semua makhluk yang tidak membedakan suku, bangsa dan jenis makhluk tertentu. Namun secara jelas dan harfiah dituturkan dalam kitab suci bahwa yang pertama kali menyadari
Al-Islam atau sikap kondisi jiwa yang pasrah total hanya kepada Tuhan itu sebagai inti agama ialah nabi Nuh, Rosul Allah urutan ketiga dalam deretan 25 Nabi & Rosul setelah Adam dan Idris.

Dituturkan bahwa Nabi Nuh mendapat perintah Allah untuk menjadi salah seorang yang Muslim ( orang yang pasrah ) dan bersifat Al-Islam, pasrah hanya kepada Tuhan ( QS. 10 : 71-72 ). Kesadaran akan al-Islam itu lebih lebih lagi tumbuh derngan kuat dan tegas pada Nabi Ebraheem. Seperti juga halnya Nabi Nuh, Ebraheem juga diperintahkan untuk berislam ( QS. 2 : 131 ).

Agama yang benar dengan inti ajaran pasrah total hanya kepada Tuhan itu kemudian diwasiatkan Ebraheem kepada keturunannya. Salah satu garis keturunannya itu adalah Nabi Ya'qub atau Israel ( artinya hamba Allah ) dari jurusan nabi Ishaq, salah seorang putra Ebraheem.

Wasiat Ebraheem dan Ya'qub itu kemudian menjadi dasar agama-agama Israel, yaitu yang sekarang bertahan agama Yahudi dan Nasrani ( QS. 2 : 132 ). Jadi agama Yahudi dan Nasrani berpangkal pada Al-Islam, karena merupakan kelanjutan agama Nabi Ebraheem. Tapi tidaklah
berarti bahwa Ebraheem itu seorang Yahudi atau Nasrani, melainkan seorang yang pasrah total hanya pada Tuhan ( Muslim) ( QS.3 : 65-67 ). Bahwa agama Yahudi itu pada dasarnya mengajarkan “Islam” , ditegaskan dalam penuturan Al-Qur'an mengenai fungsi Taurat ( QS. 5
: 44 ). Begitu pula dengan Nabi Isa/Yesus atau Al-masih/Kristus putera Maryam, Isa datang dengan membawa ajaran pasrah total hanya pada Tuhan ( QS. 3 : 52, QS. 5 :111 ).

Karena merupakan inti semua agama yang benar, maka “ Al-Islam “ atau pasrah hanya pada Tuhan adalah pangkal adanya hidayat Ilahi kepada seseorang. Maka “Al-Islam” menjadi landasan universal kehidupan manusia dan semua makhluk Tuhan dan berlaku di setiap tempat dan waktu. Dan karena “ Al-Islam “ merupakan titik temu semua ajaran yang benar, maka diantara sesama penganut yang tulus akan ajaran itu pada prinsipnya harus dibina hubungan dan pergaulan yang sebaik-baiknya, kecuali dalam keadaan terpaksa, seperti jika salah satu dari mereka bertindak zalim kepada yang lain. Sikap ini terutama diamanatkan kepada para pengikut Nabi Muhammad, sebab salah satu tujuan dan fungsi umat Muhammad adalah sebagai penengah (umatan washatan/washit ) antara sesama manusia, serta sebagai saksi (syuhada) atas seluruh kemanusiaan. Jadi sikap pasrah kepada Tuhan itu merupakan tuntutan alami semua makhluk Tuhan dalam hal ini adalah manusia.

Agama ( bahasa Arab nya :al-din, secara harfiah antara lain berarti “ ketundukan, kepatuhan, atau ketaatan ) yang sah tidak bisa lain daripada sikap pasrah kepada Tuhan ( Al-Islam). Maka tidak ada agama tanpa sikap itu, yakni, keagamaan tanpa kepasrahan kepada Tuhan adalah tidak sejati ( inilah antara lain makna penegasan QS. 3 : 19, QS. 3 : 85, barang siapa menuntut “ agama” selain “al-islam” maka darinya tidak akan diterima, dan di akhirat ia akan termasuk mereka yang merugi ). karena prinsip-prinsip ini maka semua agama yang benar pada hakikatnya adalah “ al-Islam”, yakni mengajarkan sikap kepasrahdirian hanya kepada Sang Pencipta, Tuhan yang Esa.

Dalam kitab suci berulang kali kita dapati penegasan bahwa agama para Nabi terdahulu sebelum Muhammad SAW, semuanya adalah “Al-Islam” karena inti semua ajaran agama itu adalah ajaran tentang pasrah kepada Tuhan. Atas dasar inilah maka agama yang dibawa Nabi Muhammad disebut Agama Islam, karena ia secara sadar dan dengan penuh deliberasi mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, sehingga agama Nabi Muhammad merupakan Al-Islam, namun bukan satu-satunya, dan tidak unik dalam arti berdiri sendiri, melainkan tampil dalam rangkaian dengan agama-agama Al-Islam yang lain, yang telah tampil terdahulu. Apalagi sikap pasrah kepada Tuhan itu merupakan hakikat dari seluruh alam, yaitu sikap pasrah pihak ciptaan kepada pencipta-Nya, yaitu Tuhan. Ketaatan langit dan bumi, mekarnya bunga
di taman, bergugurannya dedaunan di musim dingin adalah kepasrahan dan keislamannya. Maka implikasi prinsip-prinsip yang diletakkan dalam Al-Qur'an itu adalah kesatuan kenabian dan kerosulan. Yaitu bahwa semua Nabi dan Rosul mengemban visi dan misi yang sama yaitu membawa manusia kembali kepada Tuhan yang Esa dan Tuhannya adalah Tuhan yang Maha Esa. Tugas Ilahi ini sama dan tidak bisa, serta tidak dibenarkan, untuk dibeda-bedakan satu dari yang lain. Mereka menyampaikan pesan yang sama dengan bahasa yang berbeda-beda.

Sikap pasrah kepada Tuhan sebagai unsur kemanusiaan yang alami dan sejati, kesatuan kenabian dan ajaran para Nabi untuk semua umat dan bangsa, semuanya itu menjadi dasar universalisme ajaran yang benar dan tulus, yaitu “ Al-Islam “. Ini pula yang mendasari universalisme Islam ( dengan I besar ), yang secara historis dan sosiologis, disamping secara teologis ( termuat dalam Al-Quran ), menjadi nama ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Penamaan ini dibenarkan, karena ajaran Nabi Muhammad adalah ajaran pasrah kepada Tuhan. Jadi Islam memang sudah menjadi nama sebuah agama, yaitu agama Rosul Pamungkas. Namun ia bukan sekedar nama, tapi nama yang tumbuh karena haqeqat dan inti ajaran itu, yaitu pasrah kepada Tuhan ( Islam ).
Patut kiranya kita renungkan kembali dalam-dalam pesan Tuhan yang menyeluruh berkenaan dengan “ kesinambungan” agama Ebraheem yang hanif dan pasrah. “ Dia Allah menetapkan bagi kamu “ agama” sesuatu yang telah Dia pesankan kepada Nuh, dan yang telah Kami wahyukan
kepadamu, dan yang Kami pesankan kepada Ebraheem, Musa, dan Isa yaitu hendaknya kamu sekalian menjaga “ agama” itu dan tidak berpecah belah di dalamnya ( QS. 42 : 13 ). “ Ebraheem bukanlah seorang Yahudi atau seorang Nasrani, melainkan seorang yang hanif ( QS. 4 : 67 ). Kembali kepada agama dan Tuhan Ebraheem secara patuh dan pasrah ( Islam ) adalah jalan keselamatan dunia dan akhirat.

Dengan begitu maka seorang yang mengaku pengikut Nabi Muhammad adalah seorang Muslim, yang pada dasarnya tanpa mengeksklusifkan yang lain, yang dalam menganut agamanya itu seharusnya senantiasa sadar akan apa hakikat agamanya, yaitu Al-Islam, sikap pasrah total
hanya pada Tuhan. Yang mampu pasrah total hanya pada Tuhan tentunya yang sudah mampu benar-benar mengenal-Nya. Karena kesadaran makna hakiki keagamaan itu maka agama Islam, juga orang Muslim atau umat Islam selamanya harus mempunyai impulse universalisme , yang pada urutannya memancar dalam wawasan kulturalnya yang berwatak cosmopolit tidak picik dan taklid buta. Wa Allahu 'Aalim.

kenali-diri-anda.

PROSPERITY PRINCIPLES


PROSPERITY PRINCIPLES

In this moment, choose to believe that the Universe is abundant and that you are a part of that abundance. You are a part of the universal flow of energy in an ocean of abundance. One aspect of this energy is the concept we call money, and it is just as spiritual as anything else.

2. In this moment, feel the presence of Spirit in your life and know that Spirit is the true Source of your abundance, not your job or any other person. You are always taken care of. You are safe. Remember that Spirit always has the solution for any challenge that confronts you. Meditate daily to connect with Spirit so that you can truly feel that all is well.

3. In this moment, know that you are deserving of all the abundance of the Universe. Just because you exist, you are deserving. There is nothing you need to do or be. Just be willing to accept the idea that you are deserv-ing.

4. In this moment, be willing to give up your limiting beliefs about pros-perity. The abundance of Spirit abounds everywhere! Open your mind to the idea that there is plenty for everyone. Your personal beliefs in any area of your life create your personal reality. As you change the beliefs that limit you, the outer reality changes!

5. In this moment, remember that you are connected with Infinite Mind. This Mind works through the Law of Attraction, and It is always responding to your thoughts and feelings. Affirm and visualize the abundance that you want in your life. Include joy, peace, love, wonderful relationships, and health along with money and material things.

6. In this moment, practice feeling the joy of knowing that all is well in your life. Relax. Smile. Dance. Enjoy the beauty of nature. Focus on this moment in time, not yesterday or tomorrow, and appreciate this mo-ment. Practice faith and trust.

7. In this moment, recognize that as you accept your prosperity, you en-courage others to do the same. When the consciousness of one person shifts, it affects everyone else. Your own acceptance of prosperity helps the entire planet.

8. In this moment, be willing to begin sharing your prosperity with others, even if it is only a dollar. When you give freely to others, you are affirming that you are prosperous enough to share.

9. In this moment, remember that you are on this earth for a purpose, and that purpose is to be of service. You have your own unique skills and abilities to offer in being of service. As you practice joyful service, your prosperity will increase.

10. In this moment, feel the attitude of gratitude. Be grateful for every-thing in your life, even those things you would say are challenging. Each morning when you wake up, think of everything you are grateful for.

Open your arms wide and say to Spirit, THANK YOU!

Enjoy the miracles that occur in your life as you practice these principles!

DIVINE THINKING AND PERSONAL REALITY


DIVINE THINKING AND PERSONAL REALITY

In metaphysics we are taught that the mind plays an important role in determining one's reality. The combination of all our belief structures, attitudes, expectations, hopes, feelings, and subconscious imprints build up the "reality" that we experience. This reality is substantially our mental perception and interpretation of the varying impressions that our senses accumulate, and this resultant reality differ from person to person. No two individuals perceive or interpret the world exactly alike, even-though there may be a consensus, a collective consciousness underlying everyday objective consciousness that forms a basic reality for individuals or entities vibrating at mutual wavelengths. This is sometimes called a "shared-dream." From the Cosmic point of view, everything is a dream, a play of the senses, a cosmic dance of the gods. Everything is illusory; however this is not to say that we are not affected by our "dreams" whether understood as the sleep-state or Maya-waking reality. Our dreams affect us in accord with the power that we bestow upon it. We empower our dreams to cause fear or love within us. The unlimited power is really within our beings and not existing externally. It exists here and now within ourselves, not in the past nor in the future but in the present moment. People and things have no power to inflict harm upon us except for the power that we give to them.
But to return to the principle of the personal reality that we create for ourselves, we may illustrate this by noting the differences in our interpretations of what we call "colour." A person may interpret energy vibrating and emanating from an object as "green," another individual may interpret it as "blue." Who is to say what is the actuality? Though many may agree a colour of an object to be green, for instance, does not imply that the perception of blue as invalid. Calling someone "colour-blind" is actually an expression of arrogance. We judge others by our own moral, intellectual, emotional, and physical standards. We consider this as the "norm." Just because someone's perception or understanding is different from ours is no reason for condemnation and destruction, so long as that person's understanding does no harm to any being.
Animals may also differ from humans in their perception of the world. They may see things in black and white or shades of gray. They perceive a different reality even-though triggered by the same spiritual substratum or actuality. What that "actuality" is can only be intellectually speculated upon. We have often been told by Spiritual Masters that Truth can only be experienced and not thought about. The actual state of all phenomena is what philosophers of all ages have been seeking, and this they designate as "Truth." We might express actuality as the Law of Energy; and reality, the various phenomena that we realize, as the Law of Perception and Sensation. Summarily, no one's personal reality ought to be considered as the Absolute Truth, since this is unstable, ever-changing, forever in formation.
It may be appropriate to explain this principle of actuality and reality much more explicitly: what we realize in our minds are our realizations, hence, our reality. What really exists out there beyond our objective, everyday consciousness and perception, is "actuality"-the actual state of things: a whole spectrum of energies vibrating at varying frequencies. Actuality is noumena, whereas realities are phenomena. The objective mind is often fooled by what it senses and perceives. A nervous disorder could cause a different form of sensation and perception compared to a nervous system functioning normally. A sensitized nervous system could also receive more impressions from the environment than those nervous systems dulled by negative energies and undeveloped neurons. The Central Nervous System (CNS) has a dual function: it carries impulses from sensors to the brain receptors. This is its afferent function. Its other function is to convey impulses from the brain to the effectors--to the muscles and such. This is the efferent function of the CNS. The CNS in one sense is a channel of knowledge for it presents to us the impressions with which we may know and realize our environment. On the other hand, it is also a channel of ignorance, for it blocks out certain vital impressions from us with which we could further understand Nature. Man, however, is built in such a manner that he may receive and be aware of impressions or energies emanating not only from the third dimension but of the higher dimensions as well. Aside from the Central Nervous System there is also the Sympathetic and Parasympathetic nervous systems that have psychic functions as well as the known physical ones. Although these three nervous systems relate to the physical body, the etheric sheath also has these counterparts. In yoga these are called "nadi." In acupuncture these are referred to as the "meridian channels." These subtle channels are interrelated and interconnected with the three physical nervous systems mentioned above. The more we unfold, purify, and upgrade these subtle and gross channels, the more information we may acquire from the physical, psychic, and spiritual dimensions. This cannot help but alter our personal reality and the level of our consciousness.
But returning to the physical level in relationship to one's personal reality, consideration should also be given that the normal five senses are often tricked by external stimuli forming illusions in the consciousness. There are many examples of such; for instance, parallel railway tracks seem to join at the horizon. Another illusion is that which has fooled humanity for centuries, that the sun orbits around the earth. We know that Corpenicus revealed the opposite to be true.
Though the conscious mind with its senses are susceptible to deceptions, the subconscious mind is even more so. One striking feature is that it is unable to distinguish between dreams, fantasies, imaginations, hallucinations, and objective reality. To the subconscious mind, everything is real, no matter what arouses or stimulates it. A person dreaming of running will physically break out in sweat, just as he would if he were to run in a physical and objective sense. A person hypnotized into believing that his skin was "burnt" by a cigarette would physically form a blister, even-though the "burning" cigarette was really something else. A person fantasizing sexual thoughts would physically trigger the flow of bodily chemicals and hormones. Thus, a natural law is herein revealed that our mind may be made to believe and act upon the belief in accord with what we impress upon it. Pretending that one is inferior causes the subconscious mind to release the related energies in the form of chemicals and reduce the quality of radiations that would enforce and maintain that belief. For instance, feeling oneself inferior lowers the intensity of the aura, and hence, one's charisma. Believing in one's unworthiness disrupts the harmonious functioning of the body's immune system and lowers the body's vitality. Animals as well as some people are sensitive to the energies that we radiate through our aura and minds. As an illustration, if we do not have self-confidence we would radiate a weak magnetic aura and have a poor effect upon our environment. A prospective employer or client would consciously or subconsciously feel this un-charismatic radiation and would subsequently dismiss our application or proposal. Employers do not simply evaluate us by what we say, or the resume that we submit. They also evaluate us by what they "feel" about us. This, of course, applies to many other situations.
The actual state of phenomena is devoid of anything that our senses interpret as light, sound, odor, taste, and feeling. This is graphically illustrated in psychological studies that states that in the event of a tree-fall in a forest without anyone present, no sound exist for the reason that there is no one to hear it. Sounds only exist when the mind translates vibrations emanating from a source into meaningful impressions. The same goes with the other senses. If we are not in the forest to perceive the tree, the tree would not exist. Its actual state is simply energy vibrating at a certain rate. Our realizations may be considered "Maya" or cosmic illusions, for they do not reflect the actual state of things. They are impermanent, forever in a state of becoming, or a state of change; whereas the actuality that arouses perception may be considered as Truth, as we mentioned before. It is the awareness, knowing and understanding of this Truth that will liberate us from mortality, from the world of relativity and duality, and the world of illusions that bind us to a never-ending cycle of reincarnation. Falsehoods make a karmic-generator out of man. It is by transcending the dualistic mind that judges between realities and arbitrary standards, between the many opposites such as "good" and "evil," "strong" and "weak," etc., that will set us on the path of "Divine Thinking," and aid us in attaining the state of godhood, or to be a citizen in the Kingdom of God. Heaven is a matter of awareness and vibration, so is hell.
Mystics call the actual state of things "the Void" or "Emptiness." This is made known to them not through the ordinary channels of perception, not through the external senses, but through a certain faculty in the microcosm that transcends the mind. This condition of being aware through inner knowing may be called "apperception." It is the direct awareness of things that are, of what Is--the apperception of the Truth stripped away from its many illusory appearances. Hindu philosophy calls such appearances "Maya." It is the play of the mind, a cosmic dance of the gods.
One person's mortal reality is not superior to another. However, each reality gives us certain experiences that we dualistically interpret as "good" and "bad"; "earthly" and "spiritual;" "beneficial" and "non-beneficial," etc. We usually interpret our experiences from a pessimistic or optimistic point of view. This is often called "negative" and "positive" thinking. This dualistic mode of thinking creates our various concepts of ourselves, our world-view, and subsequently our reality--the things that we experience in our daily life. If we find ourselves in psychological pain and suffering, in most cases it simply takes a "change of mind," a change in our attitude and thinking to transmute the condition that we find ourselves in. St. Paul calls this the "renewing of your mind."
"And be not conformed to this world: but be ye transformed by the renewing of your mind, that ye may prove what is that good, and acceptable, and perfect, will of God." (Romans:12:2)
The above is a Divine-thinking precept. We should transcend positive/negative thinking (be not conformed to this world), but exercise Divine-thinking (the renewing of your mind).
El Morya, one of the Lords of the Planetary Hierarchy of the Spiritual Government serving Terra, once said that it is the sense of struggle that causes the struggle. This principle also applies to suffering and pain. A sense of suffering and pain causes suffering and pain. It is as simple as that. And yet sufferings are not easily eliminated for the one reason that people believe they have to suffer because they lack self-esteem and self-worth. Indulgence in self-depreciatory states and conditions are caused by a displacement in the psyche, by misidentifying one's Self. People tend to punish themselves for unjustified reasons. For instance, we believe that we did something wrong and so we must pay the price, and in this we judge and inflict pain upon ourselves. Love is not present in this. No one is in a position to judge us, not even ourselves; and our very Real Self will not do so, for it is the embodiment of Love. Remember the words of Jesus, "He who has not sin may cast the first stone." Those in the position to judge us will not, for they are one with God and express all the divine attributes such as God-Love, God-Mercy, God-Grace, and God-Goodness. Once again we emphasize, God does not judge us, the false ego does.
The act of transcending the sensations of suffering, pain and struggle in order to free ourselves from mortal living is not quite the same as positive thinking. Positive thinking would simply strive to see a bright side to one's experiences but not to transcend it altogether. Positive thinking does not impel us to strive for a higher evolutionary level in the way that Divine thinking would. It in fact prolongs a mortal way of behavior.
We are often told that a positive outlook of things is beneficial to our lives--and so it is. Compared to a negative frame of mind, it is much wiser to see the positive side in all experiences. However, maintaining a positive point of view is not at all that easy. The positive and negative poles are part of the dualistic system of reality, and as such it swings from one to the other. It follows the Law of the Pendulum. Thinking dualistically actually limits our being, our divine potential and expression. It locks us up in a prison of mortality. It perpetuates mortal concepts of our True Self and conditions our poor understanding and interaction with Life. Dualistic thinking is synonymous with mortal thinking, and so long as we think like a mortal we will never begin to express our divinity, our godhood. We are often reminded in Holy Scriptures that we are gods, why is it then that we do not express this? Why do we express ourselves as beasts or even lower than them, or be complacent with our human state which is actually transitional? We often think it impossible or blasphemous to be humanly perfect, to be a god and divine--by such a belief we cease to unfold ourselves, we lock ourselves in a cage of misguided thought, freeze our hearts of our humanity and express our inhumane folly.
Divine thinking on the other hand, cause one to understand that every phenomenon and experience as illusory. It helps us to center ourselves in our divinity with its blissful and joyful nature. Divine thinking helps us to untie ourselves from things that are unreal--from Maya, glamour and illusions. The Master Jesus once said that we should be in this world but not of it; or in other words, to be renunciants. This is again a Divine thinking precept.
Our mortal concepts should be transmuted into immortal notions and realties. Only then do we prove our kinship to God. This is an alchemical procedure that requires careful tending. The exoteric goal of alchemy is the transmutation of base metals into gold. Gold is the symbol of perfection, of beauty, light and all that is good. Making the physical form beautiful and youthful through external techniques such as cosmetics and implants without first considering the improvement of the character and personality is a deviation from the Spiritual Path. People are being daily misled by the Dark forces in their search for happiness and a meaningful life. They consult those that pretend to know and offer answers to their problems and yet what they get do not fulfill their spiritual needs although their physical wants and desires of the lower self may be catered to; however, this is short lived and has no lasting value. The desires of man are often counterproductive to his ultimate good and stalls his evolutionary journey; it checks his spiritual unfoldment. Lower desires should be replaced by the desires of the Higher Self. Desires should be transmuted into aspirations. There is power in desire but it has to be appropriated correctly for spiritual, selfless and sacred concerns. Instead of beautifying oneself through artificial methods, one should maintain divine thought, this would have a rejuvenating effect upon our psychology and physiology making us youthful and beautiful.
The manifestation of true perfection occurs first within--within one's realization and awareness, and then without in one's lower nature as it gradually reflects the perfection of one's Real Being. Perfection consequently shines without for the glory of God to be seen. Man does not need to wait for the Christ to physically appear again or seek Christ in earthly places. As soon as man is pure and as soon as man is aware of his true Self, Christ would manifest physically within him. Man shall be as the gods. This is the fruit of the Tree of Life that the tender of the Garden of Eden was so anxious that man should not eat prematurely, otherwise mortal imperfections would have been immortalized.
To be an Immortal we must think like one. Immortal concepts should replace mortal notions, beliefs and falsehoods. How do we think like an Immortal? How do we think divinely? There are many principles involved. If we were to pattern our lives after the great spiritual avatars that have appeared from time to time on the physical stage of Terra, we would make leaps and bounds in our spiritual journey back to our Source. Our spiritual being would unfold like the blossoming of a rose. Avatars such as Krishna, Jesus, Gautama, Quetzacoatl, and many others were fine exemplars of spirituality and of the mystic life. They showed us the way to immortality. The Master Jesus said, "I AM the Way." In this he meant that we should emulate him, that we should raise ourselves up to his level of consciousness, to his level of Divine thinking, of understanding, of living, of expressing all that is virtuous and beautiful in the soul--all that expresses one's innate godhood. In this decree of his, the expression "I AM" also refers to the God-Self within us with its perfect blueprint that we should strive to outpicture in the world of form. True Christians are not those who worship the "son of man" called "Jesus," they are the ones that manifest their personal Christhood. Only when we vibrate at the level of Christ do we become true Christians. Here we use the term "Christ" to refer to the divine aspect of man and not to the historical Jesus. True Christians are not followers or worshippers of any person, but an active channel for the Divine forces, the Christic energies of Love, Life and Light. Many men have been Christians even-though externally they formally embraced other religions or none at all.
However, let us get down to the essentials of learning how to think divinely like a god, and be aware of the divine spark of God that we should recognize and acknowledge at every waking moment. Buddhist call this the "divine pride of being a Buddha." Immortal or Divine thinking consists of understanding and living certain principles. All of our habitual thoughts, attitudes and feelings should be based upon the precept of Divine thinking if we are to progress spiritually. Below we present just some of these vital points and principles that we should incorporate in our Divine thinking "way of life" :

• Knowing one's true SELF
We often identify ourselves with our physical body, with our emotions, and with our mind. These three principles represent our personality. We are often led to believe that the personality is the Self, whereas it is simply a persona, a mask that the Soul wears that it may function in the lower dimensions. The personality is mortal and subject to change. It is not the permanent part of our being. Should we identify with the personality we assume the characteristics of mortality with its sense of limitation and lack. In the long run we lose our true sense of identity. We feel that our identity is somehow displaced and know no longer what we are. By this false identification we block the entry of spiritual forces into the lower aspect of our microcosmic being. We also close our consciousness from higher perception and awareness. By knowing, being aware, and identifying ourselves with our Reality, we liberate ourselves from a sense of separation from God--which is spiritually impossible. We are God's expression; God is our essence. By essentially knowing our true Self, we come to realize God; we come to realize the infinite creative potentials that lie within our divinity. Please note, however, that what we mean by "true Self" is far different from the usual understanding of the term. It is not the hidden desires and characteristics that lie within the subconscious mind, nor is it what most artists normally refer to as their true self when they express themselves on canvas. The True Self is not the subconscious mind, nor the conscious mind alone. It is the Divine Spark's Cosmic Consciousness or God's Divine Awareness of Its inherent Existence and Bliss within the microcosm at a lower level, and in the macrocosm at a higher level. Always identify yourself with the God-Spark within you. Essentially, all of God's attributes are to be found within you as well.

• Knowing Cosmic Laws that generates all the contents of the Omniverse
When we begin to know and understand the laws of our inherent existence we should begin to align ourselves and cooperate with Cosmic forces. We come to realize that the many beliefs and attitudes that govern our mundane existence are false and have no universal basis in truth. We learn that life is eternal and that our divine essence is immortal. By understanding Cosmic laws we would eventually come to understand our Self and the many roles that it plays in the world of form; we would also be able to differentiate between the Real and the unreal; that which is True and that which is False. We would grasp how and why our divinity should be expressed and manifested on the physical plane. Aside from this it will eventually dawn upon us that we are really one with God, one of God, and one as God; and that separation is simply an illusion. If God is everywhere present, he is also present within us. More accurately, everything is an expression of the Source of Life, and this includes us.

• Knowing the Plan of God
Most of us live without a sense of purpose in life. To most people it is unknown that all human beings have a mission in life. The Divine Mind has a Plan for humanity, a Plan for Planet Earth and the Solar System. This Plan is related to the divine and eternal aspect of man. The more we understand this Divine Plan, the more we are impelled to assist in its manifestation and fulfillment. All of our thinking will be aligned with the Will of God. Every one is sojourning on this physical plane for the purpose of fulfilling his or her mission and manifesting the Divine Plan of God upon Earth. When we think in terms of this Plan we invoke the aid of higher forces and live in accord with God's Will. The "mortal will" should be set aside to channel the Divine Will. Our will would be to express God's Will as God's desire is to express our divine desire. By being cognizant and attentive of Cosmic Order and the Plan we begin to live in terms of selflessness, service, sacrifice and the elimination of egoistic qualities for the good of all. Knowing the Plan of God expands our consciousness and helps us to see beyond mortal vision.

• Knowing that there is no separation between Man, God and Nature
Our mortal sense of duality makes us assume a defensive-offensive attitude. We attack others due to a sense of separation and fear. We should begin to realize that there is only One Substance, One Power, One Mind, One Self in the Omniverse, and this One Progenitor manifests as the varied and manifold structures of energies that we perceive. Relatively speaking, the many phenomena and things that we cognize are all illusions. They are all expressions of the One. By knowing that every form is illusory and are merely appearances, that behind all realities is Energy, the One Universal Substratum that we call God, the Void, Universal Essence, etc, we will eventually begin to think, act and behave accordingly--according to Truth. We would know that to hurt another we would simply be hurting ourselves, that what we give out eventually returns to us. Always regard another as yourself, as a divine presence of God. The precept "Do unto others as you would others do unto you," is related to this principle.

• Knowing that everything has a cause, has a purpose that the mortal mind may not know or understand.
To think divinely we should always keep in mind that nothing occurs without a purpose, that there are no accidents, or coincidences; that everything is based upon Cosmic law. Even-though consciously we may not know why things occur as they do, realize that everything will eventually have effects beneficial to soul-growth. The person who thinks divinely will never be overwhelmed with sufferings and sorrows for he or she knows the divine purpose of life through the constant attunement with the Divine Self.

• Knowing that one's true SELF is already immortal and divine
Immortality need not be searched frantically for in dark places, for it is already a reality in the light of our Divine Presence. Death is not the end, nor is it a beginning. We conquer death by realizing its non-existence, its illusory nature. A Master once said that "that which is Real cannot be threatened, that which is false does not exist." The Self that we are is beyond hurt, pain, suffering, and sorrow. It is immortal and divine. When we are submerged in a "gloom and doom" attitude it signifies that we are identifying ourselves with all that is unreal in us. The Self, or its threefold nature--existence, consciousness and bliss, cannot be extinguished. By continuously thinking from this level, by maintaining our consciousness on this plane of thought--that our essential being, our Self is immortal--we strengthen the influence of our highest aspect upon the lowest vehicles of our microcosmic being.

• Knowing that all experiences are of value to the soul
There is much that physical three-dimensional existence has to offer in terms of experience. There are things that cannot be experienced in the higher worlds that may be extracted from the material world. Evolution proceeds at a quicker pace when a life-stream is exposed to physical existence. In the spiritual planes the soul is hardly ever confronted with problems. Without challenges the soul does not evolve. Because of the density of matter, its resistance to the probing of the spiritual aspects of man, the physical world is an apt place for soul-unfoldment. Living in this three-dimensional plane unfolds the divine attributes and potentials within us such as courage, perseverance, patience, will-power, etc. It is for this reason that all our experiences, whether positive or negative, are beneficial to soul growth. They offer nourishment to our Higher Self. Therefore, in accord with this, we enforce the power of our divine thinking by extracting all that life has to offer and not indulging in any form of escapism or suicide. Perceive life from the point of view of the Self and not the personality. The personality simply wishes comfort, instant development, self-aggrandizement, and egoic power. The Self, or Soul is indifferent to external circumstances and experiences; it would regard everything and every experience as of value; its only wish is to acquire wisdom and extract spiritual nutriment from its earthly sojourn.

• Knowing that attachment to the illusory worlds only cause man to sink deeper into spiritual forgetfulness and into the mire of materialism
As mentioned above, Master Jesus once told us to be in this world but not of it. As divine immortals we should not be tied to that which is false and illusory. When we pass through transition, when we shed off this mortal form, we do not take along anything with us that is false, so why should we be overly attached to them? Attachment causes pain and suffering. It makes us forget our Source and our true Identity. Attachment also causes false identification; it displaces the Self from its throne and causes many other egoic qualities to emerge. Attachment lowers one's soul-frequency to the level of the physical octave. It attracts particles of darkness to adhere and cohere in our lower microcosmic structure. In such a state it is difficult for spiritual liberation and the ascension to take place. The antidote to attachment is simply detachment which in Sanskrit is called "Vairagya." Why should we be attached to things that are impermanent in nature? Earthly possessions and conditions are transient. Things get lost, they get stolen, they spoil, etc. Knowing that nothing is perennial we should not get upset if their cycle of existence come to an end, even prematurely. In terms of relationships, non-attachment entails loving others unconditionally and impersonally, not caring whether our love is returned, or expecting any reward. We would simply desire the happiness of others even-though their happiness may not be sought in our own kisses and embraces. Our every thought, word, and action should be prompted out of unconditional and impersonal love. Non-attachment to things of this Earth help us maintain tranquility, calmness, and a clear rational mind. It paves the way for the expression of our Higher Self.

• Knowing that one must do one's own thinking and not allow others to do the thinking for oneself
Dark and Negative forces do not desire the transformation of humanity into divinity, or man into god, they strive in various ways to hinder spiritual and evolutionary growth. Their most powerful weapons are thoughts and ideas, utilized for the control and manipulation of people's minds. They fill our minds with errors disguised as truth, and with dogmatic theologies represented with false spiritual façades. By subtle means the Dark ones would lure us away from our divinity into a lower expression. If we do not control our own conscious and subconscious minds, they will do so for us and lead us from the Real into the unreal, from Truth into falseness, from Light into darkness. We are easily mislead by authority figures falsely acting as emissaries of the Spirit. The bicameral or subconscious mind is easily controlled through feelings of fear, guilt and sin. As a disciple on the Path of Spirit it is necessary to think for oneself and to listen to the silent voice of the Soul reverberating within where one's immortality and divinity are proclaimed, where only perfection is affirmed. When we constantly listen to the voice of God within and not to the chaotic voices without we would progress quickly into the Kingdom of Light. Divine power lies within us that evil ones may not override unless through folly and ignorance we give-up what we have that they may control us and turn us into their helpless minions.

• Knowing that life is omnipresent and is not limited to the physical dimension, or even on this planet
Life in this three-dimensional existence has made us forget many spiritual truths. One of these truths is that life is not confined to physical existence nor to this particular planet alone. God is Life, and since God is omnipresent, so life is to be found in every part of the omniverse--in every dimension, and in every celestial body. We may presume sentient life to be dependent upon certain conditions--upon certain chemicals, gases, the correct temperature, atmospheric pressure, and gravitational forces, etc. However, the life-force always finds a way of manifesting itself no matter what the conditions of the environmental surroundings or substances available as building blocks for the form. Immortals do not think in terms of limitation, confinement, or constraint. Everything in essence are infinite and perennial. Though Science and Religion may teach of a "beginning," Immortals are aware that any birth of activity in the universe is simply a commencement of a new cycle of manifestation. If we were to believe that life exists solely upon Earth and upon the physical plane, we would imprison our consciousness and prevent it from expanding and embracing Cosmic Consciousness. The mortal mind is incapable of apprehending infinities; the immortal mind, however, grasps the picture in an intuitive manner. Regarding that life is omnipresent and eternal releases the power of the Higher Self within us.

• Knowing that fear and judgement are unnecessary and counterproductive
The Self is fearless. It knows itself to be beyond pain, hurt, and sorrow. That which fears is the elemental life or intelligence of the physical body. The mortal part of man, the persona of the Self, is in a constant state of tension and stress. It fears the loss of many things, but its main fear is the loss of its self-existence. Since the persona or the lower part of man is actually devoid of any soul or Self, this fear is unwarranted. Unless we identify ourselves with the eternal Self, this condition of fear of the persona or "lower self" will create psychological aberrations within us and influence our thoughts, feelings and behavior in a detrimental manner.
It is a delusion to judge appearances and that which has no real existence. In a spiritual sense, personal judgements comes from false reasoning; it is an expression of the false ego. All judgements are an expression of the dualistic mind that considers itself separate from the rest of the world, from Nature, from God. The Real Self does not judge, however it does discriminate or discern that which is Real and that which is unreal, that which is True and that which is false, that which is Absolute and that which is relative. Judgement and fear prolongs a mortal mentality as it blocks out the entry of spiritual forces and light into our system. They lower one's personal frequency and ossifies the mind. An Immortal filled with Love, Mercy and an Enlightened Mind, no longer expresses any fear or judgment. By casting out fear and the arrogantly passing of judgments upon our fellow beings we mentally prepare ourselves for the ascension and the realization of the state of immortality. The Master Jesus once said that by judging others we would in turn be judged. In one sense this could mean that we may possibly assume the condition that we pass judgement on. It is always best to see the Good in others, the God within them.

• Knowing that there is no limitation--no time and space, etc, and that everything is possible to man as he was created in the image of God.
Man is a reflection of God, a microcosm of the macrocosm. All forces and powers of the greater universe lies within the lesser universe of Man. Every phenomena of Nature has its correspondence in the microcosmic being. Since God is boundless, infinite, and eternal, and knows no limitation, the essential Man, created in God's image is likewise unlimited. Man possesses all divine potentialities and possibilities; to think otherwise is to put a false constraint upon Man's spiritual evolutionary growth. Immortals do not think in terms of limitation and lack. They only know abundance and infinities. Time and space are realities in human consciousness but not actualities in the Divine Mind. They are in fact illusions--expressions of Maya. Immortals have transcended human consciousness and are one with the Divine Mind. Time and space are no longer hurdles to them. The first rule of overcoming time and space is the realization that they are false conceptions of the mortal mind and may be transcended by identifying with the Consciousness of God within Man. Thinking divinely implies thinking like God.

• Knowing that humor and simplicity are divine qualities that need to be expressed
The higher one goes on the scale of evolution and the greater one becomes in spirituality, the more simple, child-like, and humorous one becomes. Immortals do not take themselves seriously, they know that every effort has its worth. Although the higher spiritual, and Cosmic beings are sweet and simple as compared to the psychological complexities of man, when it comes to the direction of planetary affairs of evolution, their wisdom and intelligence are far beyond the degree reached by humanity. Being simple and humorous eliminates many egoic qualities and raises one's consciousness to a higher spiritual plane. Seeing the humor in one's mistakes, expressions, and failures re-conditions and re-programs the conscious and subconscious minds with patterns of thought expressive of one's divine state of being.

• Seeing perfection
While the dualistic mind sees imperfection everywhere, the Divine Mind only knows and visualizes perfection, beauty, purity, and goodness. Whatever we see, visualize and believe we maintain our focus and attention upon it. If we continuously look for imperfection we maintain its illusory existence in our consciousness. Energy follows thought. By thinking in terms of imperfection we eventually manifest that state or condition in the world of form. Conversely, if we were to visualize perfection we would be manifesting and out-picturing the divine archetypes that God has formulated in the celestial worlds upon the earthly plane. This is the manifestation of Heaven on Earth. Divine thinking entails manifesting one's immortal state, not simply in a spiritual, psychological manner, but in a physical fashion as well. By constantly visualizing, and believing in one's immortality we would eventually display it.

• Making love the basis of one's habitual thought pattern and processes
Thinking divinely like an Immortal entails expressing the various virtues of Love, such as tolerance, kindness, benevolence, mercy, goodness, and purity. Our relationship with others, with Nature and with God should be motivated by the force of unconditional and impersonal Love. Think, speak, and relate to others with love. The power of the spoken word is expressed through the power of the Heart. Love is divine, and by expressing love we reveal and expose our divinity--the glory of God for all to see. Love, Life and Light transmutes our physical being at cellular and atomic levels. They transform and transfigure our being into a radiant vessel of Christ ("Nur Muhammad").

Conclusion
What are the benefits of divine thinking? Summarily, divine thinking unfolds the divine potentials lying latent or dormant within us. It contributes to the expansion of one's consciousness and the transmutation of one's lower mortal expression into a higher divine manifestation. Divine thinking liberates us from the wheel of rebirth and the transcendence of the realms of relativity. Physical immortality is a spiritual potential and divine thinking is a prime requisite in creating this possibility. Divine thinking raises us up to the level of the gods, it increase the rate of our personal vibrations or frequency to the energy-levels of the Adepts and Masters. Our personal evolution is accelerated as a result of thinking like an Immortal or a god. Human imperfection can only be surmounted by expressing the divine perfection within us. The first step that leads to this is Divine thinking.
Serapis Bey: "Men cannot build immortal bodies out of mortal substance. They cannot build out of mortal thoughts immortal ideas. They cannot build out of mortal feelings divine feelings that enfold the world and create the great Pyramid of Life."
****************
Copyright © 2001 Luxamore