Manunggal Ing Kawula Gusti

Manunggal Ing Kawula Gusti

Dalam Seri 019 dikemukakan cerita tiga orang tokoh di negeri Makassar, yang diambil dari sebuah Lontara tentang hikayat Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka. Ketiga tokoh itu adalah Lu’muka ri Antang, Datoka ri Pa’gentungang dan Tuanta Salamaka. Sebenarnya di situlah letak kejeniusan nenek moyang kita. Menyelipkan cerita yang berbau mistik dalam suatu cerita, yang sebenarnya mengandung sebuah pesan berupa ilmu yang tersirat, yang perlu disimak, dicerna dengan mempergunakan akal budi.

Marilah kita simak yang berikut ini. Al Qissah, tersebutlah konon Wali Songo risau karena terkabar Syaikh Sidi Jenar menyiarkan ajaran sesat kepada orang-orang awwam. Sunan Kalijaga turun ke lapangan menyelidik, dan hasilnya: Syaikh Sidi Jenar menyebarkan ajaran Manunggal Ing Kawula Gusti, Al’Abidu wa lMa’budu Wahidun, penyembah dan Yang Disembah menyatu. (Dalam realitas sejarah Wali Songo tidak mungkin dapat bertemu, karena tidak hidup dalam satu zaman, sehingga qissah ini tidak berbeda dengan hikayat Syaikh Yusuf, yang perlu disimak karena mengandung pesan berupa ilmu yang tersirat).

Wali Songo memutuskan mengirim utusan khusus membawa surat undangan. "Ini undangan untuk sampeyan dari Wali Songo", kata utusan. "Sampeyan siapa?" tanya Syaikh Sidi Jenar, dengan tekanan pada kata sampeyan. "Saya utusan Wali Songo", jawab sang utusan. "Bukan sampeyan itu yang saya maksudkan", ujar Syaikh Sidi Jenar sambil menunjuk sang utusan, "melainkan sampeyan yang ini", sambil menunjuk dirinya sendiri", menegaskan Syaikh Sidi Jenar sambil tersenyum. Dengan agak gugup utusan menjawab: "Ya, sampeyan, Syaikh Sidi Jenar". Maka Syaikh Sidi Jenar menulis surat jawaban, ringkas saja. Isinya mengatakan bahwa surat itu salah alamat, karena yang menerima surat undangan itu adalah Allah.

Menerima jawaban sedemikian itu, gusarlah para Wali Songo kecuali Sunan Kudus. Beliau manggut-manggut lalu berkata: "Bukan main, Syaikh Sidi Jenar menyatakan ajarannya kepada siapa saja, kepada utusan, dan kepada kita. Tulis surat undangan lagi, undang Allah dan Syaikh Sidi Jenar". Barulah Syaikh Sidi Jenar berkenan memenuhi undangan Wali Songo untuk bermusyawarah.

Kesimpulan musyawarah: Syaikh Sidi Jenar telah bersalah menyesatkan orang-orang awwam, ia harus dihukum mati. Namun Wali Songo tidak mengambil sikap terhadap ajaran Manunggal Ing Kawula Gusti, karena Syaikh Sidi Jenar akan membuktikan bahwa ajarannya tidak sesat. Rupanya Syaikh Sidi Jenar tidak dapat memenuhi janjinya, karena sampai pada pelaksanaan eksekusi, ia belum membuktikan apa-apa. Setelah pelaksanaan eksekusi, maka darah mengalir membentuk tulisan: La- ila-ha illa Lla-h, tiada Tuhan melainkan Allah.

Dalam Seri 001 telah dikemukakan bahwa filsafat dan tasawuf harus dibingkai oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab kalau tidak demikian, maka filsafat dan tasawuf itu menjadi liar. Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat. Pesan yang disampaikan oleh cerita di atas itu ialah, bahwa Manunggal Ing Kawula Gusti harus dibingkai oleh La- ila-ha illa Lla-h, tiada Tuhan melainkan Allah.

***

Saya mempunyai warisan yang tak ternilai harganya, yaitu sebuah "Handbook", berisi ilmu bertuliskan aksara lontara dan huruf Arab, dituliskan oleh Kakek saya, Opu Tuan Imam Barat Batangmata, Selayar. Menurut hemat saya beliau mempunyai otoritas tentang ilmu yang direkam dalam "Handbook" itu, karena beliau sekitar 12 tahun menimba ilmu di AlMakkah lMukarramah. "Handbook" itu diberikan kepada ayah saya, diteruskan kepada saya, disertai dengan pesan: Ajaran dalam "Handbook" tidak boleh sembarang diajarkan secara terbuka, dikuatirkan yang menerimanya salah faham sehingga dapat menyesatkan. Namun pesan itu tidak saya tanggapi secara kaku, melainkan sekali-sekali beberapa materi saya ungkapkan keluar secara umum, baik dalam khutbah, maupun dalam bentuk tertulis.

Berikut ini saya kutip dari "Handbook" tersebut, dalam fasal Al’Abidu wa lMa’budu Wahidun. Kutipan dalam bahasa daerah (Makassar, dialek Selayar) bertuliskan aksara lontara dan yang selainnya dalam huruf Arab.

Iyaminni passala Al’Abidu wa lMa’budu Wahidun, tunyomba na turisomba assilennarang. Nubajiki pahanna. Inni paruntu’ kananni gelepi ganna’. Riye’ tambana iyamintu: Tunyomba ma’nassa atatonji, turisomba ma’nassa karaengtonji, La- ila-ha illa Lla-h.
Inilah fasal Al’Abidu wa lMa’budu Wahidun, penyembah dan Yang Disembah melebur. Camkan baik-baik. Kata-kata mutiara ini tidak lengkap, harus ditambah dengan: penyembah tetaplah hamba, Yang Disembah tetaplah Raja, La- ila-ha illa Lla-h.

Anggu’rangiko, assikirikko, solanna assilennarangi pikkirannu ri hidayana Allahu Ta’a-lay, nasurangampole limannu battuanna panggaukannu assilennarantommi ri pappageo’na Allahu Ta’a-lay. Nasaba’ lakuana Allahu Ta’a-lay lalang ri Koraang S. Al Fatah,10: Yadu Lla-hi fawqa Aydiyhim. Nainjo limanna Karaeng Allahu Ta’a-lay lapageoi limanna atanna tungngu’ranginjo ri Iya. Akolalo salapahang rikuanjo limanna Karaeng Allahu Ta’a-lay lalang ri ayainjo. SubhanaLla-h, injo rikuanjo limanna Allahu Ta’a-lay, gelesikali assipole surang limanna atanna, nasaba’ injo Allahu Ta’a-lay tide’ sipolena: Lam Yakun laHu Kufuwan Ahadun .
Ingatlah, berdzikirlah, maka pikiranmu senantiasa melebur dan menyatu ke dalam Hidayat Allah SWT, maka tanganmu dalam arti perbuatanmu melebur pula dalam Kendali Allah SWT. Sebab bersabda Allah SWT dalam Al Quran, S. Al Fatah,10: Yadu Lla-hi fawqa Aydiyhim. Bahwasanya Tangan Allah SWT di atas tangan hambaNya yang selalu ingat kepadaNya.(*) Jangan sekali-kali salah faham dengan istilah Tangan Allah SWT dalam ayat itu. SubhanaLlah, adapun yang dimaksud dengan Tangan Allah SWT tidaklah sama dengan tangan hambaNya, sebab Allah SWT tak ada samanya: Lam Yakun laHu Kufuwan Ahadun.

Nampa baji’mi sikkiri ri atinu, assilennarammi pikkirannu ri hidayana Allahu Ta’a-lay, nasurangampole assilennarantommi panggaukannu ri pappageo’na Allahu Ta’a-lay, ma’nassa atamakontu ri karaennu, gelemakontu akkulle laatai ibilisi. Appakonjominjo ara’na rikuanjo: Al ‘Abidu wa lMa’budu Wahidun, tunyomba na turisomba assilennarang, tunymba ma’nassa atatonji, turisomba ma’nassa karaengtonji, La- ila-ha illa Lla-h. Kalau sudah berkualitas dzikirmu dalam qalbu, maka meleburlah pikiranmu dalam Hidayah Allah SWT, demikian pula perbuatanmu melebur dalam Kendali Allah SWT, maka sesungguhnya engkau telah menjadi hamba yang sejati dari Tuhanmu, tidak kuasalah Iblis untuk memperhambamu. Demikianlah makna: Al’Abidu wa lMa’budu Wahidun, penyembah dan Yang Disembah menyatu, penyembah tetaplah hamba, Yang Disembah tetaplah Raja, La- ila-ha illa Lla-h.

Apa yang dapat kita simpulkan adalah: Manunggal Ing Kawula Gusti, Al’Abidu wa lMa’budu Wahidun, penyembah dan Yang Disembah menyatu, bukanlah ajaran yang sesat, namun cenderung menyesatkan, apabila tidak dipagar oleh: Sesungguhnya penyembah tetaplah hamba, turisomba tetaplah Raja, La- ila-ha illa Lla-h. WaLlahu a’lamu bishshawab.

*** Makassar, 2 November 1994 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

(*) Ayat yang sejenis dengan ayat ini, yang artinya: "Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mu’min, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS Al-Anfaal 8:17).

tasawufnya syeh siti jenar

Muhammad Sigit
Sun, 28 Mar 1999 23:39:21 -0500

Assalamu’alaykum wr. wb.

Waduh… murid-muridnya Syeh Siti Jenar saja salah memahami konsep Manunggaling kawula gusti, apalagi kita-kita yang hidup jauh sesudah beliau.

Mas Djoko, saya ingin berbagi ‘key word’ yang diajarkan pembimbing saya untuk mengatarkan kita kepada pemahaman ttg manunggaling kawula gusti. Mudah-mudahan bermanfaat.

1. gusti (dengan g kecil), berbeda dengan Gusti.
2. Manunggaling kawula gusti, adalah ‘manunggal’-nya hamba dengan gusti.
3. Kalau kita bisa memahami QS. 24:35, kita akan mengerti, siapakah itu gusti?
4. Kalau kita bisa memahami Hadits Qudsi "Tidaklah memuat dzat-Ku seluruh
petala langit dan bumi. Yang memuatnya hanyalah qolb al-mu’minuun", kita akan mengerti, apa itu manunggaling.
5. Analogi berikut adalah tafsiran bebas saya dari analoginya Imam Al-Ghazali: Di suatu kamar, ada lampu dan cermin. Lampu memancarkan cahaya, cermin memantulkannya. Lampu selain hadir dalam sosoknya sebagai lampu, iapun hadir dalam wujud bayangan di cermin. Bayangan lampu di cermin, 100% persis seperti sang Lampu. Bila lampu meredup, bayangan pun meredup. Bila lampu goyang-goyang, bayanganpun goyang goyang. Pokoknya, nggak mungkin sang bayangan mengkhianati sang lampu. :)
Itulah analogi Gusti dengan gusti. Sang lampu ibarat sang Gusti, dan sang bayangan lampu di cermin ibarat sang gusti. Sedangkan cermin itu sendiri, ibarat qolb al-mu’minuun.