Spiritualisme Melintasi Identitas Keagamaan


Spiritualisme Melintasi Identitas Keagamaan
Wawancara (Jaringan Islam Liberal)

Padahal ada dimensi-dimensi lain dari agama. Spiritualisme itu kan sesuatu yang sangat menarik. Agama punya banyak sisi lain, bukan hanya praktek ritual keagamaan. Ada hal-hal yang bisa kita temukan dari sisi-sisi lain itu. Seperti saya yang tertarik dengan seni rupa dan bentuk. Banyak hal dalam agama yang bisa kita gali dan bentuk sampai kita benar-benar menemukan esensi keimanan.

Saya merasa bahwa agama telah menyelamatkan saya berulangkali. Agama membuat saya ingat ibu dan membuat saya melakukan segala sesuatu lebih bertanggung jawab. Itulah menurut saya nilai tertinggi dari agama, di samping dia juga mengotak-kotakkan kita dari yang lain. Demikian sekelumit pergualatan iman Riri Riza, sutradara film muda yang baru meluncurkan film Tiga Hari Untuk Selamanya kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), 12 Juli lalu, di Kantor Berita Radio 68H Jakarta.

Apa fenomena keagamaan yang Anda tangkap sehingga melahirkan film seperti Tiga Hari Untuk Selamanya yang agak bersentuhan dengan soal agama?

Sangat menarik membicarakan film tersebut dari sudut agama. Sebab, di sana terdapat pengalaman keagamaan yang juga pernah saya alami. Saya dibesarkan di tengah keluarga yang sangat Islami dan konservatif dalam mempraktekkan agama. Saya diwajibkan mengaji sejak SD sampai SMP. Setiap minggu ada guru mengaji yang datang ke rumah untuk mengajari baca dan tulis Arab. Tapi sayang, saya tak bisa menangkap makna dari ayat-ayat penting yang pernah diajarkan. Hanya beberapa ayat penting masih saya ingat.

Tapi pada saat yang sama, kita hidup di negeri yang membuka diri terhadap kemungkinann-kemungkinan lain. Ketika sekolah, saya bertemu dengan teman Muslim saya yang mengambil kelas agama Kristen supaya nilainya baik. Jadi, menurut saya negeri ini menggambarkan sebuah pencampuran atau tingkat toleransi untuk saling menerima. Kadang-kadang lucu, menarik, dan tak jarang penuh kontradiksi. Saya ingin hal seperti itu bisa saya gambarkan dalam film saya suatu hari nanti, dan sebagian sudah saya tampilkan dalam film Tiga Hari Untuk Selamanya.

Film Anda rata-rata bercerita tentang anak muda. Dalam Tiga Hari Untuk Selamanya, sepertinya ada pergulatan antara anak muda dengan nilai-nilai keagamaan. Seperti apa Anda melihat pergulatan anak muda dengan nilai-nilai agama?

Saya kira, pasti sangat beragam. Suatu kali, dalam sebuah bioskop, saya menemui dua anak pesantren daerah Ciganjur yang datang untuk menonton film saya, Tiga Hari Untuk Selamanya.

Mereka langsung saya temui dan kasih nomor HP. Saya minta mereka berkirim SMS setelah nonton film tersebut. Saya ingin tahu komentarnya karena mereka tumbuh dalam lingkungan yang berbeda dengan saya. Tapi, mengapa anak muda penting dalam film saya? Karena anak muda di Indonesia ini hidup dalam lingkungan yang penuh paradoks. Kita tidak akan diakui sebagai orang dewasa, sampai kita betul-betul telah menikah. Dewasa itu, konteksnya selalu menikah dan keluar rumah. Padahal di usia 19-21 tahun, kita sudah banyak menyerap pengalaman dari dunia luar. Tapi orangtua biasanya belum bisa memahami itu. Mereka masih sering memaksa anaknya salat, bahkan di usia segitu. Itulah yang juga saya alami sendiri.

Dan menurut saya, anak-anak muda seperti Yusuf dan Ambar (tokoh utama film Tiga Hari Untuk Selamanya) ini ada di sekitar kita. Dan kadang-kadang—seperti yang saya alami sendiri—agama atau iman tetap bisa menyelamatkan kita. Biar sebandel apapun, kadang anak-anak muda masih menganggap salat Jumat seminggu sekali itu tetap penting untuk mengembalikan perasaan keagamaan mereka.

Apakah kesadaran keagamaan tidak justru menghukumi tingkah laku mereka?

Mungkin itulah salah satu fungsi agama yang bagi saya juga menarik. Karena itu, buat saya agama tetap penting untuk menjaga perasaan kita supaya tetap pada batas tertentu. Kadang lucu juga. Agama itu kadang mengingatkan kita pada ibu kita. Jadi, menahan sesuatu itu kadang mengingatkan kita akan wajah ibu. Kadang banyak yang merasa aneh, kenapa orang Islam seperti Ambar kok masuk tempat peziarahan Katolik?! Tapi agama memang seperti itu. Ada saat-saat tertentu tatkala pada kesempatan masuk ke gereja, kita justru dapat merasakan aura spiritualitas. Aura spiritual itu kadang bisa muncul dari sebuah tempat tertentu. Tentu saja ini sangat pribadi. Tapi keluarga saya bisa membawa saya ke arah pemahaman seperti itu.

Anda sempat merasakan pengalaman keagamaan yang konservatif. Adakah momen tertentu yang membuka diri Anda terhadap keragaman agama?

Kerja saya sangat memberikan ruang untuk itu. Membuat film memberikan pengalaman kepada kita untuk masuk ke dalam banyak persoalan. Saya pernah ikut proses pembuatan film Sepanjang Bulan Ramadan di Indonesia. Di situ kita memfilmkan sekelompok masyarakat di Klaten, yang tiap masuk bulan Ramadan membuat perkumpulan yang membawa persembahan untuk dibagi-bagi. Saya pikir, perasaan seperti itu memberi arti penting bagi agama. Saya selalu kagum pada ruang. Jadi ketika masuk ke ruang tertentu, seperti masjid, perasaan saya tiba-tiba mengatakan ada sesuatu yang bisa lepas. Tapi sulit mengingat peristiwa khusus kenapa saya merasa agama ini—biar bagaimanapun—tetap bisa menyelamatkan saya. Pada saat-saat tertentu, misalnya ketika punya problem berat, saya bisa merasakan sesuatu yang berbeda kalau masuk masjid. Memang masih ada banyak hal yang harus dikoreksi dari sikap keagamaan saya. Tapi menurut saya, fungsi rumah Allah masih bisa saya temukan.

Apa komentar Anda terhadap pandangan keagamaan yang selalu ingin menghukum dan memusuhi nilai-nilai modern?

Saya rasa itu memang sesuatu yang diatur sedemikian rupa agar tetap ada. Jadi aturan budi baik itu dibikin untuk mengingatkan manusia agar tidak masuk ke dalam ruang-ruang tertentu. Kenapa anak muda yang sering jadi target dari doktrin ini? Karena masa muda adalah masa yang penuh godaan, pertanyaan, penuh keinginan-keinginan. Saya merasa bahwa pada saat-saat tertentu perlu juga kreativitas untuk berhubungan dengan anak muda.

Saya tidak mau mengatakan bahwa film saya pro-narkoba, walaupun dalam film terakhir saya

narkoba diperlihatkan hampir sebagai makanan sehari-hari dua anak muda yang jadi tokohnya.

Tapi saya rasa, itu adalah bagian dari realitas kehidupan anak muda. Tapi pada saat yang

sama, kita juga bisa merasakan bahwa kehidupan keluarga, didikan agama yang ada di sekitar

mereka, juga menjadi dimensi berpikir mereka. Itu tidak ditampilkan sekadar menunjukkan

bahwa mereka takut atau tidak mau taat.

Saya tidak mau membuat film untuk menghindari dari realitas seperti itu, hanya semata-mata

takut akan mendapatkan begini-begitu. Ada banyak film yang secara vulgar menunjukkan bahwa kalau melakukan ini, maka kamu akan mendapatkan balasan seperti itu. Film seperti itu seperti sedang bekerja sebagai agen dakwah. Saya memilih untuk tidak membuat film seperti itu, meski itu sah-sah saja dilakukan orang. Menurut saya, film sama seperti halnya kesenian lain: bisa dilihat atau diserap manfaatnya dengan cara berbeda, tanpa menggurui. Saya berharap momen ketika Ambar datang ke tempat peziarahan Sendangsono, tercipta semacam ruang di mana kita bisa merasakan hati yang begitu plong. Itu yang mau saya terjemahkan ke layar. Dan saya tidak ingin itu hanya mereka yang merasakan, tapi juga penonton. Mungkin suatu kali orang tidak harus berpikir ke New Zealand untuk mencari tempat yang menarik. Mereka bisa saja melakukan perjalanan dari Jakarta ke Jawa Tengah, dan merasakan pengalaman spiritual tertentu, atau minimal, membiarkan diri bertransformasi ke arah lain.

Ada komentar bahwa anak muda yang ditampilkan dalam film Anda tidak peduli akan nilai-nilai agama. Komentar Anda?

Saya rasa, kalau mau melihat kode-kode anak muda, memang isinya selalu seperti yang tergambar di majalah-majalah. Mereka identik sekali dengan budaya konsumerisme. Kita bisa lihat itu sendiri di mana-mana. Saya pernah juga bergaul dengan anak-anak muda yang tergabung dalam remaja Islam. Mereka juga menarik. Mereka datang dengan film pendek tentang kompleksitas kehidupan. Misalnya, bagi anak-anak puteri, tepat ketika memilih untuk memakai jilbab atau tidak.

Nah, sebenarnya tidak terlalu tepat juga kalau kita melabeli anak muda itu jauh dari agama.

Sebenarnya yang perlu dibuka adalah dialog-dialog positif yang menarik dan menunjukkan

paradoks-paradoks kehidupan. Menjadi anak muda di Indonesia ini memang rumit. Negara kita

besar sekali, dan sulit untuk mempertahankan masyarakat agar tetap bermoral, berakhlak,

berbudi, dan lain-lain. Tapi itu yang terus-menerus dikuliahkan kepada anak muda. Tapi di

saat yang sama, TV dan majalah yang beredar telah membuka mata mereka ke arah yang lain.

Belum lagi filsafat media yang begitu terbuka untuk diakses.

Apa peran yang bisa menunjukkan keterlibatan agama dalam kehidupan anak muda agar tidak terkesan sekadar unsur pelarang?

Yang pertama, mudah-mudahan tak terjadi lagi peristiwa seperti kemarin, yaitu banyaknya film

yang diminta-turun oleh kelompok tertentu. Di beberapa daerah, seperti Makassar, telah

terjadi peristiwa seperti itu. Ada film-film yang diminta turun oleh sekelompok orang karena

dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Yang seperti itu justru membuat dunia kaum muda

makin tersisih dan meyakinkan mereka bahwa agama memang hanya untuk melarang.

Padahal ada dimensi-dimensi lain dari agama. Spiritualisme itu kan sesuatu yang sangat

menarik. Agama punya banyak sisi lain, bukan hanya praktek ritual keagamaan. Ada hal-hal

yang bisa kita temukan dari sisi-sisi lain itu. Seperti saya yang tertarik dengan seni rupa

dan bentuk. Banyak hal dalam agama yang bisa kita gali dan bentuk sampai kita benar-benar

menemukan esensi keimanan.

Tokoh Ambar yang muslimah digambarkan berdoa di depan patung Bunda Maria dalam film Anda. Bagaimana Anda menanggapai pendapat yang mengatakan bahwa itu tidak boleh?

Itu satu sisi pendapat. Mudah-mudahan tidak semua orang berpendapat seperti itu. Karena itu satu sisi pendapat, maka bukan berarti orang yang berpendapat lain dianggap pendosa. Menurut saya, semuanya akan berjalan sesuai dengan dinamika masyarakat. Mudah-mudahan ke depan kita lebih bisa terbuka untuk mendiskusikan dan mendebatkannya. Untuk menghindari kesalahpahaman, kita perlu membuat cerita-cerita sastra atau film yang membuka kemungkinan-kemungkinan dialog menarik tentang persoalan itu. Jangan coba menutup-nutupi persoalan yang sedang terjadi. Dengan hadirnya banyak cerita yang mengungkap persoalan-persoalan seperti itu, mudah-mudahan kita lebih rilaks dan terbuka dalam berpikir.

Kita akan kesulitan kalau hanya hidup dalam dunia yang hitam-putih, benar-salah, neraka- surga. Hidup tidak bisa seperti itu.

Bagaimana Anda melihat fenomena keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini, seperti larangan doa antar-agama, fatwa-fatwa kontroversial, dan lain sebagainya?

Sebenarnya tidak ada kata lain bahwa itu semua adalah teror terhadap iklim kebebasan berekspresi. Dengan teror itu, kita jadi khawatir untuk membuat film yang mengangkat persoalan-persoalan seperti itu, seperti percintaan antar-agama, atau membicarakan identitas keagamaan yang hidupnya tidak lurus-lurus amat, dan persoalan lainnya. Bagi saya, mengangkat itu semua adalah risiko yang harus ditanggung. Ini kan sesuatu yang harus diantisipasi dan dicarikan solusinya.

Di Indonesia ini, yang berkaitan dengan film sudah punya Lembaga Sensor Film (LSF). Lembaga inilah yang menjadi penentu layak-tidaknya sebuah film ditonton. Nah, lembaga itu mestinya punya wibawa. Kalau lembaga ini sudah bilang bahwa sebuah film boleh beredar dan ditonton, maka mereka juga harus melindungi film tersebut. Ini yang harus kita upayakan dalam proses demokrasi di negeri ini. Saya percaya bahwa kita bebas mengajukan pikiran kita, karena kita hidup dalam negara hukum yang melindungi kebebasan itu. Kita punya pasal-pasal tentang itu dalam UUD kita.

Saya bersyukur film saya masih dinilai normal saja dalam membicarakan hal-hal semacam itu.

Memang ada delapan adegannya yang disensor. Tapi itu sudah cukup sebagai ganjaran. Saya

sebenarnya juga keberatan karena sistem sensor di negeri ini, karena tidak memungkinkan kita

untuk mengajukan keberatan.

Film Long Road To Heaven yang bicara soal bom Bali ternyata dilarang tayang. Apa komentar Anda terhadap pencekalan seperti ini?

Untuk film Long Road To Heaven, bukan kapasitas saya untuk menjawabnya. Seharusnya produsernya yang lebih tepat menjelaskan. Tapi menurut saya, film itu adalah film yang cukup berani karena mengangkat sebuah kejadian dan memotretnya dari perspektif pribadi-pribadi yang ada di sekitar itu. Tapi saya dengar, film itu memang dilarang untuk diputar di Bali, karena khawatir akan menyinggung perasaan korban atau kelompok-kelompok tertentu. Ya, begitulah negara kita. Meski negara sudah punya lembaga resmi yang berwenang menentukan layak-tidaknya sebuah film diputar, tetap saja sebuah film mungkin ditarik dari peredaran karena tuntutan masyarakat.

Dan biasanya, Lembaga Sensor Film tidak melakukan apa-apa. Mereka tidak membela, memberi penjelasan, atau memberi aturan tambahan, umpamanya, film ini hanya layak ditonton olehorang dewasa atau pada jam-jam tertentu. Ini pula yang menyebabkan film tentang fakta sejarah di Indonesia begitu sedikit. Saya kira sedikit sekali orang yang menunjukkan konsen tentang itu. Film-film di Indonesia ini diproduksi dengan mengandalkan adanya market semata.

Kalau tidak ada market, tidak mungkin sebuah film dibuat. Ini berbeda dengan di negara lain. Di negara lain, kalau ada keinginan membuat film, ada saja lembaga donor yang sedia mendanai. Misalnya kita mau membuat film tentang kebebasan dan toleransi beragama, pasti ada yang mau mendanai. Di Indonesia, itu tidak ada. Jadi benar-benar menggantungkan diri pada market. Nah, sudah terbukti bahwa market Indonesia adalah kalangan remaja. Maka film yang diproduksi pun tentang remaja. Paling jauh film horor.

Apakah sebuah film selalu mengandung pesan moral? Dan pesan moral apa yang ada di balik doa Ambar di depan Bunda Maria?

Saya pernah berpikir bahwa tiap film harus mengandung nilai dan pesan moral tertentu. Tapi di saat tertentu, film juga merupakan bagian dari cerminan pengalaman-pengalaman budaya pembuatnya. Tentu harus ada pengelolaan lebih lanjut dari penonton untuk merasakan apakah pesan moral itu jelas atau perlu dicerna dan dilihat dari sudut pandang lain. Jadi saya bisa sependapat dengan asumsi itu, tapi bisa juga tidak sependapat.

Dalam pengalaman menonton dan membuat film, saya merasa bahwa pengalaman saya juga harus masuk dalam film yang saya buat. Karya film juga merupakan sebuah ekspresi. Saya yakin ada pesan moral yang bisa dicerna dari adegan Ambar. Saya pikir, spiritualisme kadang-kadang melintasi batas identitas keagamaan tertentu.

Ada saat-saat tertentu ketika kita merasakan pengalaman spiritual. Misalnya saat membuat

film Gie. Waktu itu, saya naik ke puncak gunung Pangrango. Pada suatu pagi, ketika selesai

syuting dan semua kru pindah ke lokasi berikutnya, saya menetap sendiri. Tiba-tiba saya

merasakan syukur yang luar biasa. Saya mengucap berulangkali. Meskipun itu bukanlah mesjid,

tapi saya merasa ini adalah tempat yang memberikan saya rasa syukur bahwa saya masih bisa

hidup masih bisa berada di situ.

Dan tempat di mana Ambar berada bersama lilin itu adalah momen kesyahduan. Saya tahu,

sebagai Muslim kita memang hanya bisa meminta kepada Allah. Tapi sebagai Muslim juga, saya

diajarkan bahwa Allah ada di mana-mana. Dia bisa mendengar kita dimanapun kita berada. Itu

yang juga saya yakini.

Menurut anda, apakah kehidupan yang penuh kontradiksi ini wajar saja atau kita harus mencari keselarasan saja?

Kalau hidup di negeri seperti Indonesia, kontradiksi itu akan selalu ada di dekat kita. Dan

kenapa ini perlu dibicarakan? Supaya kita siap. Menurut saya, anak muda perlu sekali siap

untuk menghadapi hidup dalam masyarakat yang penuh paradoks. Tentu saja ini sulit. Saya

sendiri yang menjadi bapak dari anak yang baru berusia lima tahun, tak bisa membayangkan

bagaimana anak saya nantinya memasuki usia remaja, dan bagaimana berkomunikasi dengannya. Tapi yang paling baik dan saya inginkan sekarang adalah agar dia bisa terbuka membicarakan dan mempertanyakan apapun. Masyarakat kita adalah masyarakat yang tertutup sekaligus terbuka; religius tapi sekuler juga. Jadi unik dan perlu kebiasaan. Kalau kita terbiasa hidup dalam situasi yang normal-normal saja, begitu memasuki dunia extreme-changes yang terus menerus, saya khawatir dia akan kaget dan tidak siap. Buat anak muda, saya percaya mereka harus dibiasakan menghadapi dinamika seperti itu. Jadi mereka tidak boleh menghindar, apalagi dihindarkan atau ditutupi. Ada banyak orangtua yang merasa begitu khawatir akan anaknya. Mereka selalu diawasi, selesai sekolah dijemput, dan tidak boleh ke mana-mana, karena khawatir akan dunia luar, khawatir terkena narkoba, dan lain sebagainya.

Dalam beragama, Anda pernah merasa melakukan proses pencarian yang sangat pribadi?

Ya, saya rasa memang begitu. Kadangkala, saya bisa melupakan bahwa agama itu sudah terberi dalam diri saya tapi coba bernegosiasi dengan aturan tatkala saya merasa keinginan saya berlawanan dengan aturan agama. Meski begitu, saya merasakan bahwa agama telah enyelamatkan saya berulangkali. Agama itu membuat saya ingat dengan ibu saya dan membuat saya melakukan segala sesuatu lebih bertanggung jawab. Dan itulah menurut saya nilai tertinggi dari agama, di samping dia juga bisa mengotak-kotakkan kita dari yang lain. Banyak orang depresi, kehilangan orientasi, lalu bertobat dan kembali ke agama sebagai penyelamat.

Film Anda tidak berakhir seperti itu. Mengapa?

Pertama, saya memang tidak memilih pola seperti itu. Kedua, saya yakin bahwa hidup ini akan menunjukkan jalannya sendiri kepada kita. Keputusan-keputusan kita sebenarnya merupakan sesuatu yang akan menjadi jalan buat kita. Posisi saya ketika menulis film itu kan seperti Tuhan yang dapat berbuat apa saja, yang bisa menentukan ending manusia. Tapi saya memilih tidak melakukan itu. [Moh. Guntur Romli].